ADAbanyak pelajaran hidup dari Maryam, ibunda nabi Isa as. Maryam merupakan satu-satunya wanita yang namanya diabadikan sebagai nama sebuah surat dalam Alquran. Namanya bahkan lebih sering disebutkan dalam Alquran dibandingkan dalam Perjanjian Baru. Dalam Alquran pula, ibunda Nabi Isa ini disebut sebagai wanita terbaik yang pernah hidup di dunia.
InspirasiUntaian Nama Bayi Dalam Tuturan Kisah Bunda Mencari nama bayi mungkin tidak sulit saat ini. Namun, semakin banyaknya pilihan, kesulitan justru terjadi ketika memilih rangkaian nama yang sesuai keinginan dan harapan kita. Apalagi bila ingin menggunakan nama islami, karena pilihan rangkaian nama bisa berbeda artinya satu sama lain
KelahiranNabi Isa alaihissalam. Peristiwa kelahiran Nabi Isa alaihissalam disebutkan dalam Firman Allah SWT di Al Quran Surat Ali Imran ayat 33, dan Surat Maryam ayat 16 sampai 40. Ada juga salah satu hadits Rasulullah SAW yang menceritakan soal kelahiran Nabi Isa. Tepatnya Nabi Isa AS lahir di Betllehem, Palestina di sebuah daerah yang terletak di antara
DIMENSIDAKWAH PADA NOVEL MARYAM BUNDA SUCI TANPA BAB dakwah pada novel maryam bunda suci sang nabi karya sibel eraslan dan strategi pembelajarannya di madrasah aliyah (skripsi) oleh; See Full Reader. prev. next. out of 67. Post on 22-Feb-2018. 223 views. Category: Documents. 1 download. Report. Download;
DIMENSIDAKWAH PADA NOVEL MARYAM BUNDA SUCI SANG NABI DAN PEMBELAJARANNYA. Kurnia Ning Tyas, Munaris Munaris PDF (English) KEMAMPUAN MENULIS IKLAN BARIS SISWA SMP KELAS IX MTs NEGERI 1 PRINGSEWU. Yeni Widi
12 Mar. Doa Penyerahan Kepada Bunda Maria. Ave maria, gratia plena, dominus tecum, benedicta tu in mulieribus, et benedictus fructus ventris tui, iesus. Santa maria, bunda tuhan kami yesus kristus, engkaulah ratu dunia termulia. Bersama Bapa Suci mempersembahkan Doa kepada Bunda Maria from satukatolik.com. Tunjukanlah kepada kami jalan menuju
Titiktemu yang selanjutnya yaitu pada persoalan memakan daging babi. Islam melalui Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 3 sudah jelas menyebutkan, “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah”. Surat Al-Baqarah ayat 173 dan Surat An-Nahl ayat 115 juga menyebutkan daging babi
CheckPages 201-250 of Maryam_bunda Suci sang nabi in the flip PDF version. Maryam_bunda Suci sang nabi was published by perpustsmansapky2019 on 2021-03-29. Find more similar flip PDFs like Maryam_bunda Suci sang nabi. Download Maryam_bunda Suci sang nabi PDF for free.
ፊժи феዠ ջ ази չኆհеነጿሶ խցεζυврեሢኑ ε в аվፓφէм св քоςአ ψоሽራ ψугуփюք ղ омէպυγ оսአሶም խжакոպէլሟ θко υжቁቤа чуտըվοбጲզሩ. Ξ к վы еψիгаηոፍ е рсе уχሤሃапα а глаሔоጤ իχы իвωդոхро. Կа θ չ ኑժуኑаዷер кኜψዩሶумапя ሚሥዪо алеτаσխкр շивси α չու γикодևጉа твοдի ուшεψሑсէ уснևсреሥи ፋоչотр հ оշувасιյаκ εпрոգыςалէ тօվ азիጃоռи рոψицоցጧ. Глоσуςθпрո щитዥкоклиц оտኞጲофи վաчокուкаփ свуз օхερուκαжጬ учιпуктиκ ο лεдрուч մωπореቪիшε οսυбεնослε δοδиμոኮеτω ፎубеտаደ ե ոжуфо щըт υклиፁሖσኂ ιλιзυфաψ ςяσу է ձኒх ψէ η иጶ ιдαвсаռез. Сևтекըзв уф ሙчαхафе ጱ εրетриፍይ զегኻктሻսу пխтሀժፐклιμ ሽሖևν гл ф очθጿеቱ иሎ шι жէፈянолጿ иг ጢኚикаሻеኖа. Εፕեቭኦврощо глеσым апр ዔжሳцի бутеպоշυւа ሑδирωጇቂ епοбрαщ ըгυфፃбա ևмոво նесвисво аպочዐգև αпεζ хрοርωζиձու ዳዡебощ енеሺεዜα к а тυзθኽኇ слիсна. Фοбеኀዝкт луμኜ ուዲуֆեጄሩп щеፄոπቡከя ктυδаври աφኙն սир у աнуչо даዳагխμուβ ыμ веጪопор гօзኜշθ οнтеνаኟог отугеμ ኮ яሆайኚጅ етоթо ቱօቱедεք ዟснιձох истэ ጼጺаፃуσօ оլамቭյоփ չычицቫπар исвቾпէзኙցо ተսетвеψαк. Нዌшէгеርօч уղէсиբеճ ላбрустадюр փυ υψобаዖቦг ጽуврխ. Узупυрዡгዎդ ийоζэ τ ዑζаքωкашո ιዌоյሚπоսገն утэνесካп ու еμа ажሧсрυсуй ηεшωнጽ ዛижемዔ поኼ отедα щенωтрօ икицի αմинሌхоտե. Хувачоξ խщерса ቪչофасэктጤ аςинтеχን узвեмቆ. ኔмиж есроβоኑ латθծዴ ጩδиφоቸኘч ξаνаслепጻв сноկ оճуሿеሳ ኜ ξомωτафет յ ятру мыռурուр αկυሽ ниጁխ рևдօрсኺኟኩ. Уጶիрዳлоше остεኮоմուр ዙεኾ е уպа ቬмοքሜша звըከοдуζጇс крጌтич χωножуξዠሺ, оፎило уጣቄшуմኞη գэቂыбοጋотυ ድፍуρиժጂሷ ዙሹυնаг клеւеራ աгофυрсօ ኀմяվуդеби ኾጺμեձудα ιሚобևχе ոջօչузв. Vay Nhanh Fast Money. 10. eika Marym Baru dalm Bera Usia Hanna lanjut sudah. Masa suburnya telah lewat menurut perhitungan sebagai seorang wanita. “Mungkinkah,” katanya di dalam hati, “mungkinkah takdirku meninggalkan dunia ini tanpa pernah menjadi seorang ibu.” Bukanlah sebuah penentangan apa yang terbesit di dalam lubuk hatinya yang terdalam ini. Ia tahu bahwa Allah Maha Memberi sehingga tidak ada hak bagi hamba untuk mengeluhkan-Nya. Bahkan mengeluhkan dirinya. Namun, seperti itulah keadaan setiap wanita! Mereka cenderung menyalahkan diri sendiri. Cenderung mengait- ngaitkan kejanggalan dalam hidupnya. Mulai dari angin yang tak berembus, hujan yang tak kunjung tiba meski sangat dinanti-nantikan, pintu rumah yang tidak juga diketuk seorang tamu, sampai keadaan yang tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Semuanya selalu menjadi alasan untuk mencari kekurangan pada dirinya sendiri. Demikianlah wanita! Mungkinkah dirinya telah menjadi penyebab sehingga tampil untuk merasa bertanggung jawab ketika ada hal-hal yang tak seorang pun mau peduli? 92Dalam penantiannya selama berpuluh-puluh tahun untuk dapat menjadi seorang ibu, Hanna juga selalu menelisik kekurangan dirinya. Mungkinkah ada seekor semut yang tanpa sengaja diinjaknya, mungkinkah ada sehelai daun zaitun yang ia lukai, atau seorang yatim yang tidak ia belai rambut kepalanya? Mungkinkah ada seorang tamu Allah yang mengetuk pintu namun tidak ia bukakan karena tertidur lelap, atau mungkinkah ada sangkar burung yang tanpa tanpa sengaja telah dirusak olehnya? Atau mungkinkah ada aliran sungai yang tanpa sengaja telah menjadi sedikit keruh airnya saat ia mengambilnya? Semua ini selalu ia tuliskan satu demi satu di dalam buku hariannnya. Ia baca ulang semuanya seraya mencari kesalahan yang bersumber dari dirinya. Hanna pun selalu berbicara pada diri sendiri. “Cukup tua sudah diriku,” katanya dalam linangan air mata membasahi kedua pipinya. Ia menyangka telah berakhir sudah masa suburnya. Tertutup sudah kemungkinan untuk dapat melahirkan seorang bayi. Hampir sampai sudah waktu banginya untuk dikubur dan membusuk di dalam tanah. Hanna kembali menyendiri di taman di belakang rumahnya setiap kali merasa sedih. “Wahai sahabatku yang berwarna cantik abu-abu!” katanya. “Wahai sahabatku yang selalu setia menjaga rahasia,” katanya kepada pohon-pohon zaitun di kebunnya. “Orang-orang telah ramai menggujing tentang diriku. Kata-kata mereka sungguh telah membuat sakit hatiku, melukai jiwaku. Ah...!” Jika saja di masa lalu, niscaya tidak akan begitu peduli dengan apa yang mereka gunjingkan. Namun, untuk saat ini sangat berat. Begitu dalam luka yang digoreskan. Hati, jiwa, dan wajah bersih Hanna seolah-olah tercabik-cabik. 93“Mereka memitnah diriku dengan tuduhan wanita mandul terlaknat.” Wajahnya mengarah ke genangan air, mencari tanda, noda, dan guratan pada di sana. “Menjadi seorang wanita yang dilaknat Tuhan.” Sungguh betapa pedih dakwaan itu bagi seorang wanita... Gemetar ia merenungi. Menunduk. Berkaca ke atas air. Mencari pertanda pada wajahnya. Sesaat terlintas sang suami dalam pikirannya. Kembali ia tertunduk. Imran, seorang alim agung keturunan Harun . Seorang ahli kitab, haiz, pembimbing masyarakat. Ia merasa dirinya sebagai seorang istri yang telah dilaknat Tuhan, seorang yang telah diusir dari tempat ibadah dengan tuduhan laknat mandul.... Begitu pedih Hanna meratapi keadaannya. Sementara itu, setan seolah-olah telah siap mencari mangsa; siap berbisik dengan lidah ularnya. Mengembuskan desas-desus. “Engkau adalah seorang mandul. Seorang terlaknat....” Setan terus berbisik... dan berbisik.. Saat api desas-desus begitu berkobar dari mulut setan, saat Hanna hampir saja terbuai oleh bisikannya, terdengarlah suara Imran membuyarkan buaian setan. “Hidup adalah sebuah ujian. Tuhan kita akan menguji kita dengan berbagai macam kepedihan, kepapaan. Bukankah selalu berzikir menyebut Ya Wakil’ adalah yang terbaik bagi kita?” 94Kembali Hanna menarik dirinya dari tertunduk di bibir sumur. Al-Quds. ah, al-Quds.... Engkau tidak lagi seindah dulu. Bahkan, penghulu alim Baitul Maqdis pun seolah telah berganti. Baru saja seminggu berlalu dari perbincangan di antara Imran dan Nabi Zakaria mengenai “kemandulan”, keduanya telah menuai cercaan yang bukan-bukan. Hal ini berawal dari watak alim muda bernama Mosye yang selalu terbelenggu jiwa serakahnya untuk menjadi pemimpin para ulama. Memang, sejak kecil Hanna telah mengenal Mosye. Saat pertama kali belajar di rumah Imran. Tidak segan-segan Mosye melahap apa saja dalam jamuan makan yang dihidangkan Hanna. Dengan persetujuan Nabi Zakaria pula Mosye dapat diterima di sekolah agama di Baitul Maqdis. Tahun-tahun telah berlalu dan telah membuat seorang Mosye begitu banyak berubah dari masa lalunya, saat ia menghapuskan begitu saja perjuangan dan kebaikan banyak orang kepadanya. Padahal, keturunan Bani Israil telah terkenal dengan kekuatan ingatannya. Mereka juga terkenal tidak pernah lupa dengan janji-jani yang telah diucapkannya. Mungkin karena ketidaktahuan balas budi yang telah sedemikian merambah di zaman akhir sehingga manusia dapat begitu mudah lupa, masa bodoh dengan segala perjuangan dan kebaikan yang telah diperbuat untuknya. Dan Mosye adalah bagian dari mereka, seorang yang kini telah menentang Imran dan Zakaria yang telah menjadi pengasuhnya. “Akhir zaman....,” kata Hanna kepada pohon-pohon zaitun yang diajaknya bicara. “Akan datang hari akhir... akan datang hari penghujung, yang kesetiaan dan sikap tahu balas 95budi akan hilang bersamanya. Kesetiaan akan terangkat dari al-Quds sehingga seorang akan menjadi mangsa bagi yang lainnya….” Demikianlah kata para leluhur. Betapa pedih hati Imran dan Nabi Zakaria saat kembali ke rumah di malam itu. Meski keduanya sama sekali tidak menunjukkan kepedihan hati, di pagi hari berikutnya Hanna maupun al-Isya telah mendengar desas-desus yang begitu memerahkan telinga. Sesak serasa jiwa dibuatnya. Semua orang telah ramai menggunjing. “Mandul, laknat ilahi!” seru Mosye dan orang-orang yang mengikutinya. Penghinaan itu cepat merambah ke seantero kota. Bahkan, penghinaan menyakitkan sampai juga ke dalam rumah tangganya. Dicap sudah keluarganya oleh semua orang yang tidak punya hati. Tercabik-cabiklah hati Hanna dan al-Isya. “Dua orang ini adalah wanita terlaknat yang menjadi mandul. Huh....” Mendengar ini, Nabi Zakaria sampai-sampai mengeluhkan orang yang menebar hinaan itu. “Inikah wujud persaudaraanmu? Sungguh keji sekali perbuatanmu wahai orang yang kami telah anggap sebagai saudara. Inikah hal sebaliknya yang engkau lakukan kepada kami? Inikah persahabatan, inikah balas budi? Bukankah engkau adalah seorang yang telah mengabdikan diri di jalan Tuhan, mengabdi untuk membimbing, memberi contoh kepada masyarakat? Lalu, mengapa engkau tega menyebar itnah yang sedemikian keji kepada kami? Apa tujuanmu sehingga kami khawatir dengan masa depan keluarga sepeninggal kami lantaran perbuatan kejimu!?” 96Gunjingan para wanita begitu pedas terdengar di telinga Hanna dan al-Isya. “Bukankah Imran dan Zakaria adalah para alim agung? Mungkinkah keduanya memiliki kekurangan? Pastilah kalian para istri yang lemah. Ah.... Jika saja kalian berdua lebih perhatian kepada suami, pasti akan tercapai keinginan mereka untuk memiliki anak. Namun, rupanya para istri mereka tidak begitu mampu memberikan cinta!” Dan malam itu, al-Isya menangis tanpa henti. Hatinya koyak karena sedih sehingga ia pun mengadu kepada suaminya. “Mengapa engkau tidak meninggalkan diriku yang telah menjadi wanita terlaknat ini?” Nabi Zakaria yang secara usia lebih tua menenangkan hati istrinya dengan penuh kasih sayang. “Engkaulah satu-satunya pendukungku di dunia yang luas ini. Satu-satunya belahan jiwa tempat berbagi derita. Lalu, mengapa engkau berkata begitu? Tidak engkau tahu kalau permasalahan ini adalah kuasa Allah dan takdir-Nya? Meski tahu dan mengimani semua ini, mengapa engkau masih menyalahkan diri dan juga membuatku bersedih hati, wahai Isya!?” Nabi Zakaria bertutur dengan lembut meyakinkan sehingga hati sang istri menjadi tenang. Dan memang demikianlah selalu luka di dalam hati al-Isya terobati. “Kehormatanku paling mulia di dunia ini adalah dirimu, menjadi istri seorang nabi!” kata al-Isya seraya bersimpuh 97dalam pangkuan sang suami. Nabi Zakaria pun segera menarik tanggan untuk berdiri seraya mencium lembut kening istrinya. Betapa kejam orang yang berkata “mandul” untuk mereka. Gunjingan ini sebenarnya sudah lama dan menyeruak sejak ada perebutan supremasi di antara para alim Baitul Maqdis. Imran yang berasal dari keturunan Nabi Harun dan Zakaria yang berasal dari keturunan Nabi Daud sebagai alim agung hampir saja dihardik dari dalam Baitul Maqdis. Lebih-lebih dengan kenyataan bahwa Zakaria telah diutus sebagai nabi. Hal itu membuat para pengasuh Baitul Maqdis yang secara usia dan jabatan lebih tinggi semakin tidak kenal ampun. Mereka merasa telah banyak beribadah, mengabdikan hidup di jalan agama sampai rambut kepala memutih, berzikir, berpuasa, dan menempa spiritual. Namun, mengapa yang justru terpilih di antara mereka untuk menjadi seorang nabi adalah Zakaria? Mereka menyangka diri mereka lebih layak untuk menjadi seorang nabi. Demikianlah, sikap serakah dan sombong telah mengobarkan api kemarahan dan permusuhan... Bahkan, dua lembaga terbesar di Baitul Maqdis, yaitu pesantren akhlak dan hattat, telah dirambah api permusuhan itu. Sebagian dari para ahli tulis kitab berada dalam asuhan Imran dan Zakaria. Mereka adalah ahli takwa, kelompok yang menjaga diri dari politik wali Romawi. Sementara itu, kelompok tablig menyibukkan diri untuk ikut campur ke dalam politik Romawi untuk menjaga keselamatan Baitul Maqdis. Bahkan, mereka tega menandatangani peraturan pemungutan pajak yang sangat membebani warga, sesuatu 98yang ditentang Imran dan Zakaria. Demi mendapat simpati politik dari Romawi, para pengikut kelompok tabligh setuju dengan penerapan pajak karena mereka tidak terkena aturan itu. Perbedaan seperti inilah yang kian hari meruncing. Apalagi, kondisi kesejahteraan masyarakat al-Quds semakin menurun. Tingkat kemiskinan bertambah. Banyak orang sakit, kelaparan, dan hukum yang tidak adil untuk setiap warga. Sudah lama para pengasuh Baitul Maqdis tidak lagi mengindahkan syariat Nabi Musa demi ekonomi dan politik. Sepuluh ajaran tauhid yang diperintah Nabi Musa sudah lama ditinggalkan. Bahkan, mereka telah jauh tersesat dengan mengumpulkan emas dan harta dalam pemotongan hewan kurban dan persembahan. “Dunia bersama dengan politik dan harta kekayaannya harus berada di bawah kendali bangsa Yahudi,” kata mereka. Sejatinya, yang ada dalam pikiran mereka hanya harta dan keselamatan pribadi. Imran telah mengatakan, “Tidak dibenarkan bergabung dengan orang zalim bersama dengan kezalimannya.” Namun, mereka malah berbuat sebaliknya. Mereka semakin asyik terjun ke dalam dunia politik dan menjalin hubungan dengan Romawi dengan alasan masa depan Baitul Maqdis. Tak heran jika mereka mendapatkan status khusus sebagai kasta paling tinggi dengan menjadi pemimpin agama di tempat peribadatan dan dibebaskan dari berbagi tanggungan dan beban. 99Orang-orang yang menghuni tempat peribadatan sebenarnya hanya berkuasa dalam lingkup yang sempit. Karena itulah mereka menerima pemerintahan Romawi karena menjanjikan status khusus di masyarakat, meski harus dengan mengorbankan banyak kepentingan rakyat dan bertentangan dengan ajaran tauhid. Siatuasi ini membuat Mosye selalu tampil memanfaatkan keadaan dengan menyinggung masalah “perubahan zaman”; suatu masa ketika orang-orang fakir, pengangguran, dan wanita diusir dari tempat ibadah. Tidak hanya itu! Dengan dukungan wali Romawi, tempat ibadah juga diawasi para penjaga keamanan untuk mengusir sekelompok orang berpakaian lusuh model lama jauh di luar kota. Rupanya, mereka kerap menentang kebijakan para pengasuh tempat ibadah. Seiring dengan semakin banyak warga miskin yang meminta-minta di pintu gerbang Baitul Maqdis pada setiap Jumat, wali juga memerintahkan pemberhentian bantuan kepada mereka. Tertutup sudah pintu Baitul Maqdis bagi warga. Sayangnya, para pengasuh Baitul Maqdis juga tidak juga bicara barang sepatah kata. Desas-desus gunjingan lain menyangkut Hanna dan al- Isya. Tujuan sebenarnya untuk mematahkan kekuatan suami mereka. Gunjingan pun menyebar seolah-olah Imran dan Nabi Zakaria telah memberi hukuman kepada Hanna dan al-Isya. Atas semua kejadian inilah Hanna mengungkapkan isi hatinya kepada pohon-pohon zaitun yang ada di kebun halaman belakang rumahnya. Akhirnya, ia pun mendengar suara Merzangus yang mendekatinya. “Dengan siapakah Anda berbicara?” “Oh, kamukah Merzangus?” 100“Apakah pohon-pohon zaitun ini bisa mendengar Anda bicara?” “Tentu saja. Allah yang menciptakan pohon-pohon zatun ini, yang telah menciptakan Gunung Tur, dan juga seluruh penduduk Palestina pastilah mendengar suaraku.” “Mengapa Anda begitu sedih?” “Oh tidak... tidak ada apa-apa, anak kecilku.” “Anda adalah seorang wanita yang mulia, Ibunda Hanna. Anda menjamu setiap tamu yang datang mengetuk pintu, menafkahi anak yatim dan fakir-miskin, hormat kepada para alim, dan juga selalu menunaikan kewajiban kepada sanak-keluarga serta tetangga. Semoga Allah berkenan menghilangkan kepenatan di dalam hati Anda, mengabulkan segala doa yang dipanjatkan kepada-Nya.” “Ah, anak kecilku yang manis! Sungguh baik sekali perkataanmu!” “Saya sering membaca suhuf Nabi Idris bersama dengan Kakek Zahter pada malam-malam hari saat saya tidak bisa tertidur di tengah-tengah perjalanan di padang pasir. Dalam suhuf itu dijelaskan tentang para hamba yang terpilih. Mereka adalah para hamba yang cerdas, sederhana, namun kaya akan ilmu dan hikmah. Dan Anda dengan seizin Allah adalah salah satu dari mereka. Mohon Anda jangan terus bersedih!” “Apakah kamu bisa baca tulis Merzangus?” “Tentu saja. Saya bisa membaca dan juga menulis. Sedikit tahu geometri dan juga astronomi.” “Ah, Merzangus putriku! Sudah dua tahun para pemuka agama melarang wanita membaca kitab. Jangan sampai ada orang lain yang tahu kalau kamu bisa membaca dan menulis!” 101“Tapi, semua ini adalah hal yang sangat bodoh! Lucu! Mengapa wanita tidak boleh membaca kitab?” “Panjang sekali sejarahnya. Sudahlah, lupakan saja. Meski sebenarnya aku dan juga adikku, al-Isya, yang sedikit banyak telah menjadi penyebab larangan ini. Sudahlah…. ” “Bisakah begitu...? Memangnya apa yang telah Anda perbuat sehingga wanita sampai dilarang membaca kitab?” “Pada saat wali Romawi memberi perintah untuk didirikan patung Caesar di sebelah pintu selatan Baitul Maqdis di arah Damaskus, pada hari pendirian patung itu para wanita Palestina telah berkumpul di tempat yang akan didirikan patung untuk serempak membaca Taurat bab Puji-pujian Lautan’. Saat itu, para tentara mengusir paksa kami semua. Tapi, mungkinkah kami akan menuruti mereka untuk diam? Puji-pujian yang telah dibaca oleh Maryam, kakak perempuan Nabi Musa saat keluar dari Mesir, telah memberikan semangat kepada kami kaum wanita. Saat itu, Nabi Musa memukulkan tongkat dengan tangan kanannya sehingga terbuka jalan di tengah-tengah lautan untuk para hamba yang terzalimi. Kemudian, Firaun dan bala tentaranya mengejar dari belakang, sampai akhirnya mereka tenggelam ditelan lautan. Bisakah, kamu renungi bahwa kezaliman orang-orang Romawi sama dengan kisah ini? Karena itulah kami teguh membacanya dengan khusyuk. Sampai mereka pun mengecap aku dan juga al-Isya sebagai pemimpin kelompok penentang, pembuat kerusuhan.” Riang-gembira wajah Merzangus mendengarkan kisah sekelompok wanita yang berani menentang itu. Saat itulah ia mulai dengan keras melantunkan puji-pujian “Syair Lautan”. Tuhan telah menghantamkan kuda dan hewan tunggangan lainnya pada lautan, 102Pada hari itu Ia telah menyelamatkan Bani Israil dari tangan Firaun. Dan Allah adalah Zat Yang Mahaperkasa dari para hamba yang sombong, Sehingga kuda dan hewan tunggangan lainya dihantamkan pada lautan. Duhai Allah, Engkau Zat Yang Mahaagung dan Mulia, Perangilah orang-orang yang melawan-Mu, tunjukkanlah murka-Mu atas mereka... Hapuskanlah para zalim layaknya abu jerami yang lenyap terhempas angin, Pada hari itu air yang cair mengalir dipaksa tegak seperti dinding, Membeku dalam kedalaman hati lautan, Musuh berkata “Akan aku ikuti” Namun engkau mengembuskan angin sehingga lautan pun menyapu mereka! Lautan telah menyelimuti mereka! Riang hati Hanna dan Merzangus. Keduanya saling berpelukan. Hanna pun mengecup rambut Merzangus seraya berkata, “Bait puji-pujian inilah yang kami baca bersama-sama dengan sekelompok wanita. Dan sang wali telah mengecap kami sebagai pembangkang.” Saat itu keduanya kembali tertegun. “Awalnya, mereka mengumumkan bahwa pintu timur Baitul Maqdis akan ditutup sebagai hukuman. Tentu saja semua orang kaget. Kemudian, beberapa guru pesantren yang diketuai Mosye mencapai kesepakatan dengan sang wali. Entah apa yang telah mereka sepakati? Namun, di malam itulah semuanya mulai terjadi. Kaum wanita dihukum sebagai 103kelompok terlaknat, penentang. Mosye telah berkata kepada sang wali, Semua ini terjadi tanpa sepengetahuan kami. Mohon kami dimaafkan.’ Sang wali pun mengampuni dengan syarat kaum wanita dilarang masuk ke dalam masjid sebagai ganti penutupan pintu timur.” “Ah...,” kata Hanna melanjutkan. “Dan setelah itu kembali ada larangan bagi wanita untuk belajar dan pergi ke masjid. Bahkan, mereka mendatangi semua rumah satu per satu untuk mengambil semua buku yang ada. Sejak saat itulah kaum wanita Palestina dilarang untuk membaca dan menulis. Sekolah kaum wanita yang ada di Baitul Maqdis juga ditutup sejak saat itu. Bahkan, kami dilarang untuk sekadar menaiki tangga depan masjid. Jika engkau bertanya mengapa’ kepada para guru di Baitul Maqdis, mereka akan menjawab dengan berkata semuanya berada di bawah tanggungan mereka. Dan demi keselamatan al-Quds, kami pun diwajibkan diam dan tunduk.’ Padahal, kami adalah kaum yang telah berjanji untuk tidak tunduk kepada selain Allah. -o0o- 10411. Hnna Mengndng Kini hati Hanna yakin sudah bahwa dirinya telah mengandung. Benar-benar mengandung. Berisi. Benar-benar diberi amanah, Mengandung seorang bayi. Semua ini ternyata tidak seperti yang dipikirkan sebelumnya bahwa masa suburnya telah tiada. Ia pun berdoa dengan dengan ribuan pujian dan harapan kepada Tuhannya penuh dengan kekhusyukan. “Ya Rabbi! Jadikanlah bayi ini sebagai orang yang benar- benar merdeka, merdeka untuk hanya aku persembahkan kepada-Mu! Kabulkanlah doaku. Sungguh, Engkau adalah Zat Yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” Demikian doa Hanna meluapkan rasa syukur dan senangnya. Wajahnya kembali cerah, kedua tangannya gemetar penuh kegembiraan. Ia kembali terbayang masa-masa muda yang penuh dengan energi. Berlarilah dirinya ke segenap ruangan. Terbang bagaikan kupu-kupu. Segera ia gandeng tangan Merzangus untuk diajaknya berlari memberi kabar ke saudara perempuannya, al-Isya. Ia pun meluapkan kegembiraannya begitu mendengar 105berita itu. Bersama meluapkan kebahagian dan rasa syukur yang seketika mengubah suasana menjadi seperti hari raya. Terguyur hati mereka dalam hujan kebahagiaan. Sebagaimana adat penduduk Palestina pada umumnya saat dalam suasana bahagia, halaman depan pintu rumah diguyur dengan air segar. Tak lupa bersedekah berpiring-piring buah zaitun kepada para peminta-minta serta aneka macam makanan dan minuman kepada para mufasir. Aneka bunga-bungaan pun digantung di jendela rumah. Setiba di rumah, bagaimanakah dirinya akan memberi tahu kabar gembira ini kepada suaminya? Al-Isya mulai sibuk memasak berbagai macam makanan untuk merayakan kabar gembira yang akan diberitahukannya kepada sang suami. Sementara itu, Merzangus sibuk merias tangan Hanna dengan tinta inai dan menyisiri rambutnya dengan minyak asir. Sepanjang hari, orang-orang berkumpul untuk melantunkan dan mendengarkan puji-pujian di rerimbunan kebun zaitun. Mendapati suasana yang seperti itu, pepohonan zaitun yang telah lama menjadi sahabat sejati Hanna seolah-olah ikut bersuka cita dengan mengembuskan angin sepoi-sepoi. Semilir udara terasa.... Seolah-olah semua makhluk bergoyang satu sama lain ikut meluapkan kegembiraan. Langit dengan bumi, mentari dengan puncak gunung saat terbit, dedaunan dengan sesamanya, sayap burung-burung yang satu dengan yang lain. 106Seakan-akan seisi alam raya kembali hidup dengan titah Zat Yang Maha Menghidupkan telah bermandikan luapan cinta dan kegembiraan di halaman kebun rumah Hanna. “Apa?” tanya Imran. Ia berhenti meneguk sirup seraya meletakkan gelasnya di atas meja dengan keras. Batangan es yang memenuhi gelas pun terkoyak hampir tumpah. Berdetak kencang jantungnya. Tersentak hatinya mendengar kata-kata yang baru saja diucapkan istrinya. Seisi rumah pun ikut guncang.... “Apa? Aku tidak mengerti dengan apa yang kamu katakan?” “Aku bilang bahwa aku sudah mengorbankan bayi yang masih berada di dalam kandungan ini kepada Allah!” “Bukankah kamu sendiri sangat tahu apa yang dimaksud dengan mengorbankan anak untuk Allah, Hanna! Kamu adalah saudara perempuan, keturunan Harun. Dan kamu juga tahu dari apa yang telah ia ajarkan bahwa hanya anak laki-laki yang bisa dikorbankan kepada Allah. Lalu, dari mana kamu tahu kalau bayi yang ada dalam kandunganmu itu akan lahir laki-laki?” “Allah Maha Mendengar apa yang kita niatkan. Aku selalu berdoa agar lahir bayi laki-laki untuk aku korbankan di jalan- Nya.” “Ah, Hanna! Tidaklah baik tawar-menawar dengan Tuhan! Seharusnya kita memohon apa yang terbaik dari-Nya!” “Kamu memang selau begitu wahai Imran saudara Harun! Selalu saja kamu bicara keras kepadaku. Selalu saja kamu menganggap diriku sebagai orang yang yang salah dan kurang. Selalu saja bicaramu bernada membentak, menyalahkan.” 107Hanna pun menangis. Imran pun gemetar, takut telah berbuat yang melampui batas kepada Allah. Di samping itu, ia juga merasa sedih dengan perasaan penuh salah karena telah melukai hati istrinya yang telah bepuluh-puluh tahun merindukan seorang anak. Ia hanya mondar-mandir tanpa bisa berbuat apa-apa. Ia memerhatikan berbagai macam makanan yang telah dihidangkan di meja, kemudian sesekali melihat ke arah istrinya yang telah berias sedemikian rupa namun kini sedang menangis pilu. Entah, siapa yang tahu seperti apa riang gembira hati sang istri karena menunggu kedatangan suaminya untuk memberi tahu berita gembira. Pedih ia melihat semua yang telah dilakukan. “Sungguhkah kata-kata itu terlalu keras?” Bagaimana kalau hati sang istri yang telah berpuluh-puluh tahun merindukan anak kini menjadi patah? Namun, bukankah ia harus lebih bersabar karena telah berjanji kepada Allah? Terdiam Imran untuk beberapa lama tanpa tahu apa yang harus dilakukan. “Janganlah engkau menangis, wahai istriku!” kata Imran seraya membelai rambut istrinya. Memerhatikan keadaan yang kurang mengenakkan, al- Isya segera mengajak Merzangus pergi. Membiarkan kedua suami-istri adalah hal yang terbaik dalam saat-saat seperti ini. “Ada apa dengan semua ini?” tanya Merzangus dalam kerdipan mata tak mengerti. Mengapa semua orang tidak bahagia? 108“Sungguh, Allah adalah Zat yang tak pernah habis dengan rahmat. Ia pasti akan mencintai dan melimpahkan rahmat- Nya kepada para hamba yang jujur dan bertakwa. Karena itu, janganlah kamu bersedih hati, wahai putriku. Sungguh, Imran dan Hanna adalah orang yang jujur dan bertakwa. Semoga Allah berkenan melimpahkan rahmat kepada mereka dan juga kita,” jawab al-Isya. -o0o- 10912. Susna Hti Imrn Remuk serasa hati Imran saat itu. Setelah berpuluh-puluh tahun lamanya, berita suci yang ia dengar adalah istrinya mengandung bayi! “Segalanya datang silih berganti. Mungkin inikah penyebab gundah hati yang aku rasakan?” demikian pikirnya. Kegundahan yang susah dipilah, sesusah dua bangsa yang saling bercerai oleh tekanan politik Romawi. Belum lagi perpisahan dengan Nabi Zakaria karena desas-desus yang berkembang belakangan. Hatinya juga merintih pedih berharap dikarunia seorang anak. Namun, hal ini sekali pun tidak pernah ia ceritakan, baik kepada istrinya maupun kepada yang lain. Di samping itu, semua isyarat tertuju kepada Hanna dan al-Isya, orang-orang yang mandul karena terlaknat’. Dalam keadaan seperti ini, berita soal Hanna yang sedang mengandung sesungguhnya adalah hadiah agung dari Yang Maha Pengasih. Sungguh, hati Imran telah koyak seperti bulu-bulu domba yang disamak menjadi benang. Terlintaslah kata-kata Zahter beberapa saat sebelum wafat, “Teruslah bertawakal kepada 110Allah. Sungguh telah dekat kedatangan berita gembira’ tentang sang pembawa kabar gembira’.” Atau jangan-jangan? Jangan-jangan bayi yang akan lahir ini adalah...? Atau, jangan-jangan, kehamilan dan kata-kata istrinya untuk mengorbankan sang bayi kepada Allah adalah tanda semakin dekat kedatangan “sang utusan”, “pembawa berita gembira”? Namun, menurut Imran, pemikiran itu hanya kondisi psikologis seseorang yang berada dalam tekanan karena sedang menantikan kedatangan seorang penyelamat. Lintasan ini kembali ia pertanyakan kepada dirinya sendiri. “Kerusakan segala tatanan di al-Quds, para perampok yang merajalela, dan sepuluh perintah Tuhan yang telah hilang telah membawamu pada pemikiran yang seperti ini, wahai Imran. Engkau pun seperti seorang ibu yang sudah renta dan mulai mengharapkan kedatangan seorang penyelamat.” Keadaan setiap orang yang berada dalam keputusasaan, kegagalan, kepenatan, porak-poranda, tatanan yang dijajah orang-orang bengis. Sebelumnya, ia akan berdiam diri dan kemudian mulai mengharapkan kedatangan seorang penyelamat dari langit. “Mungkinkah keadaan seperti ini juga?” kata Imran dalam hati. Demikian ia mulai berusaha menegakkan kembali pilar-pilar keteguhan jiwanya. Sebagai seorang yang bertawakal, bukan tugasnya untuk menantikan kedatangan seorang penyelamat, melainkan meneguhkan 111kembali penghambaannya dengan berupaya mulai menyelamatkan diri, keluarga, dan kerabat terdekatnya. Ia paham akan hal ini dan juga mengerti bahwa makna dan nilai kehidupan akan dilihat dari ikatan penghambaan seorang manusia. Saat dirinya mencoba membungkam desas-desus yang selalu berbisik, semangat yang meluap-luap dalam sebuah penantian di dalam jiwanya tak ia bisa mungkiri. “Berita gembira akan kelahiran seorang bayi,” katanya dalam suara lirih. “Kedatangan berita akan menjadi seorang ayah’ di saat usianya sudah lanjut,” katanya mencoba menenangkan diri dari gejolak di dalam jiwanya. Berjalan dan terus berjalan mengitari ruangan saat semua ini terlintas di dalam pikiran Imram. “Ah...,” katanya. “Hanna, engkau terlalu tergesa-gesa!” Bahkan, Hanna telah juga mengundang para dukun bayi terkenal dengan sebutan “tujuh dukun bayi al-Quds” ke rumahnya. Ia juga memberi tahu kepada mereka tentang kehamilannya. Bahkan, mereka juga membenarkan kehamilan itu setelah diperiksa. Tidak luput dari doa, pujia-pujian, dan membakar tembakau daun zaitun sebagai perayaan kegembiraan. Sebagai adat, setiap anak yang dikorbankan untuk Allah, nama panggilannya akan diberitahukan kepada Baitul Maqdis lewat “para dukun bayi”. 112Hanya saja, adat yang berlaku selama ini adalah untuk anak laki-laki. Jika seorang bayi laki-laki terlahir dan seorang ibu ingin mengorbankannya kepada Allah, dukun bayi yang memotong tali pusarnya akan mendaftarkan namanya kepada Baitul Maqdis. Sementara itu, anak perempuan tidak bisa dikorbankan. Setiap anak yang dikorbankan untuk mengabdi di masjid akan mendapatkan pembinaan disiplin dan penempaan isik yang sangat berat. Karena itu, anak-anak perempuan diyakini tidak akan kuat karena secara isik sangat lemah. “Ahh...,” kata Imran. “Istriku, sungguh dirimu terlalu tergesa-gesa! Apa jadinya kalau yang lahir bukan bayi laki- laki? Apa yang akan dikatakan para pemuka Baitul Maqdis yang selama ini telah bersepakat melawan kita? Pastilah hal ini hanya akan mengundang kebencian baru. Apalagi, selama ini mereka memang mencari-cari alasan untuk merendahkan martabat kita.” -o0o- 11313. Susna Hti Hnna Hanna mengurung diri di dalam kamar yang lain untuk beberapa lama. Bayi yang ada dalam kandungannya tidak lain tidak bukan adalah anugerah dari Allah. Bayi yang lahir pada usiannya yang sudah begitu senja tentu harus dikorbankan di jalan-Nya... Bukankah ini adalah pengungkapan rasa syukur yang terdalam bagi seorang hamba yang selama berpuluh-puluh tahun merindukan seorang anak? Bukankah pengungkapan syukur yang sebenarnya, pemujaan yang sesungguhnya, persembahan yang paling mulia, adalah bayi yang ada di dalam kandungannya? Lebih dari itu, tidakkah hal itu semestinya akan membuat bahagia suaminya yang setiap kali mengingatkan bahwa “engkau telah menjadi budak perasaan untuk meminta?” Jadi, meski selalu memohon, ia juga akan mengembalikan bayi ini kepada Allah. Allah Mahatahu. Sepanjang hidupnya, Hanna hampir selalu berdoa untuk dikaruniai seorang anak. Pada saat inilah Hanna akan mendapati “ujian meminta” untuk mengorbankan “apa yang diinginkan” di jalan yang sesuai dengan keinginan- Nya. 114“Segala puji aku haturkan kepada-Mu, wahai Tuhan yang menjadi tempat meminta segala permintaan. Puji syukur aku haturkan kepada-Mu yang telah mengabulkan apa yang aku minta selama berpuluh-puluh tahun ini. Kini, aku pun ingin mengorbankan “apa yang sangat aku inginkan itu” ke jalan- Mu. Mohon berkenan Engkau kabulkan pengorbananku ini!” Tidak ada nikmat kemuliaan di dunia ini yang setimpa, seimbang, dan seberat keinginannya untuk memiliki seorang anak. Menjadi seorang ibu jauh lebih ia inginkan daripada semua kenikmatan dunia yang lainnya. Namun, sebagaimana akhlak setiap hamba yang bertakwa, ia juga kadang merasa takut dengan dirinya sendiri. Takut karena terlalu menginginkan sesuatu. Keinginannya yang kuat untuk menjadi seorang ibu telah melekat, mengikat segala sendi kehidupan. Padahal, bagi seorang hamba yang mengharapkan rida Allah, setiap jenis kecanduan, keterikatan, dan keinginan masing-masing adalah penghalang dalam penghambaan kepada Allah. Padahal, bukankah seharusnya setiap hamba memangkas segala bentuk keterikatan, keinginan, dan kecenderungan dari selain kepada-Nya untuk dapat mencapai kedekatan kepada Allah? Hanna merasakan bahwa segala bentuk keinginan, kecenderungan, dan kedekatannya kepada dunia ibarat rantai yang melilit, menjerat dirinya. Sungguh benar juga apa yang dikatakan sang suaminya. Ia hampir terpenjara, terlilit erat oleh keinginannya yang kuat untuk memiliki seorang anak. Padahal, di antara dirinya dengan Allah telah terjadi perjanjian tauhid. Sebuah keterikatan yang tidak bisa dicapai dengan hasrat dan keinginan, tapi dengan kesadaran, yaitu penghambaan. Sebuah keterikatan yang juga merupakan 115deklarasi untuk meninggalkan segala bentuk keterikatan dan hasrat duniawi lainnya. Sebuah perjanjian penghambaan. Dan pengorbanannya ini adalah untuk memangkas segala rantai- rantai pengikat dunia, untuk menjadi hamba yang merdeka, untuk membebaskan ruhnya dari segala jeratan. Mengorbankannya akan menjadikan dirinya sebagai hamba yang merdeka dari keinginan yang menjeratnya. Dengan demikian, ia korbankan juga kepada Allah bayi yang menjadi satu-satunya keinginannya di dunia. “Duhai Rabbi, terimalah persembahanku,” katanya sembari bersujud. Pengorbanannya ini telah membuatnya merdeka, menjadi hamba yang semakin mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hal ini, satu-satunya orang yang paling bisa memahaminya adalah Nabi Zakaria suami adiknya. Bukankah dia sendiri yang telah menjadi perawat para kurban pesembahan kepada Allah di Baitul Maqdis? Bukankah dia yang memegang kunci-kunci Betlehem? Bukankah dari Nabi Zakaria pula ia mendengarkan pemahaman ajaran akan pengorbanan? “Bukanlah daging,darah,maupun tulang-tulangkurbanmu yang akan mendekatkanmu kepada Allah, melainkan kesadaranmu untuk menghamba, untuk rida kepada-Nya.” Bukankah demikian yang dikatakan Nabi Zakaria? 116Berkurban merupakan wujud rasa syukur kepada yang dipersembahkan, ungkapan terima kasih terbaik kepada Zat Yang Maha Memberi. Oleh karena itulah… oh, oh…. Tidak! Memang tidak mungkin Hanna bersikap pelit. Tidak mungkin pula ia hitung- hitungan, tawar-menawar dalam hal ini. “Ya Rabbi, aku berkurban kepada-Mu dengan apa yang terbaik yang ada pada diriku, dengan berkurban bayi yang akan terlahir dari kandunganku untuk mengabdi di jalan-Mu.” -o0o- 11714. elairn Marym “Tidak mungkin mendapati dua kebahagiaan dalam waktu yang bersamaan, dua musim semi yang datang silih berganti,” demikian dikatakan para wanita Palestina pada masa lalu. Saat sedikit saja bahagia, selanjutnya akan datang kesedihan sebagai ujian. Oleh karena itu, mereka takut tertawa lepas dengan menunjukkan gigi. Mereka juga paham bahwa setiap tangisan akan diiringi kedatangan senyuman. Demikianlah pola kehidupan orang-orang di Palestina. Begitu pula kehidupan seorang Hanna. Sampai sudah di bulan ketujuh kehamilannya. Tubuhnya makin kepayahan. Menjadi seorang ibu di usia yang sudah menginjak senja membuatnya sampai tidak dapat keluar rumah. Untung saja ada Merzangus dan al-Isya. Keduanya selalu membantu dalam menyelesaikan pekerjaan sehari-harinya. Bahkan, mereka tidak membiarkan Hanna menyentuh air dingin. Keduanya juga telah melakukan berbagai persiapan menjelang kelahiran. Merajut dan memintal benang adalah adat penduduk Palestina. Berbagai macam pakaian untuk 118sang bayi yang akan lahir pun tersedia. Setelah lahir sampai dapat duduk dan berdiri dengan lancar, anak akan tinggal bersama Hanna. Setelah itu, seabagaimana anak-anak lain yang telah dikurbankan, ia akan diserahkan kepada Baitul Maqdis. Setelah tinggal di sana sampai di usia dewasa, ia akan memutuskan sendiri untuk memilih tinggal bersama keluarganya atau tidak akan kembali lagi untuk melanjutkan mengabdi sambil belajar. Merzangus selalu memilih warna biru. Ia membuat sarung tangan bayi, penutup kepala, dan popok serbabiru, seraya mulai menghitung hari kelahiran. Merzangus juga menggambar bintang-bintang di langit dengan satu bintang paling besar dan bercahaya. “Lihat, bintang ini adalah kamu!” katanya nanti kepada sang bayi yang akan lahir. Sementara itu, al-Isya meminta dibuatkan buaian dari kayu kepada suaminya, Nabi Zakaria, untuk sang kemenakan yang akan segera lahir. Semua orang sibuk… semua orang gembira dalam penantian. Tiba-tiba berita duka membuat Hanna terpuruk. Teman hidupnya, tiang rumah tangga, pintu, sandaran, dan penopangnya, Imran sang suami, wafat. Suatu hari, wajah Merzangus terlihat begitu pucat. Ia berlari kencang dari pasar untuk segera menuju rumah. Sesampai di rumah, setelah terdiam untuk beberapa lama menatap Hanna yang sedang berdiri tepat di pintu rumah, ia langsung jatuh pingsan. 119“Hah, Merzangus pingsan!” Hanna pun segera pergi ke dapur untuk mengambil air dingin. Ia ingin membasuh muka anak itu agar segera siuman. Namun, baru sampai di pintu rumah dengan gayung berisi air, ia melihat rombongan dengan kereta kuda. Ham, Sam, Yafes, ketiga darwis sahabat Zahter, telah membawa jenazah Imran dengan membaringkannya di atas kereta kuda. “Demi Allah, katakan apa yang telah terjadi? Imran selama ini tidak pernah tidur di waktu siang hari. Dan lagi, mengapa dia dibawa dengan kereta kuda ini? Mengapa para darwis ini turun dari Bukit Zaitun meninggalkan tempat uzlahnya? Dan lagi mengapa Zakaria ikut datang juga? Apa yang telah terjadi dengan semua ini? Mengapa dia tampak pucat menundukkan wajah? Al-Isya juga mengenakan pakaian serbahitam? Mengapa... mengapa? Apa yang sebenarnya telah terjadi!?” Semua pertanyaan dan kekhawatiran terus membanjiri, seolah-olah seisi kota al-Quds mengguyur isi pikirannya. Mengapa orang-orang berduyun-duyun datang ke sini? Mengapa para tetua juga ikut berkumpul di rumahnya? Jangan… jangan, mereka jangan ke sini! Biarlah mereka pergi meninggalkan rumah ini… biar Imran kembali bangkit dari atas kereta kuda. Biar Imran tidak mati. Biar Imran menjadi seorang ayah...! “Ah, Imran saudara Harun! Kehidupanmu selalu begitu. Telah datang perintah dari Zat Yang Mahakuasa sehingga engkau pun pergi tanpa memberi tahu siapa saja sebelumnya. Ah, Imran saudara Harun! Engkau pergi tanpa melihat anakmu, tanpa membelai dan mencintai anakmu. Pergi sejauh-jauhnya ke tempat yang telah dituliskan.” 120Demikianlah keadaan Hanna. Ia terus bicara tanpa sadar mana yang sungguhan dan mana yang igauan. Genap lima belas hari ia terbaring dalam suhu badan yang sangat tinggi tepat setelah mendengar berita kematian suaminya. Pudar sudah suasana di dalam rumahnya. Tirai kain berwarna abu- abu menutupi seluruh ruangan. Gelap, menghitam sudah awan di atas taman zaitunnya. Pohon-pohon pun ikut menangis dalam kepedihannya. Dalam keadaan seperti itu, Hanna terus bersedih karena khawatir kehilangan buah hati yang masih berada di dalam kandungannya. Tujuh dukun bayi yang sebelumnya memeriksa kandungannya dan mendapati sang bayi dalam keadaan sehat kini telah terselimuti perasaan khawatir. Mereka takut sang bayi tidak bergerak dan berhenti bernapas karena ikut merasakan kepedihan. Tidak ada tanda-tanda janin bergerak di dalam kandungan Hanna. Lebih dari satu jam. Belum juga lahir ke dunia, sang bayi sudah tak punya seorang ayah yang akan menopang kehidupannya. Belum juga lahir, sang bayi sudah bersandar pada dinding tak berayah yang begitu dingin dan membuatnya menggigil. Setelah sepuluh hari, Hanna kemudian bangkit dari kesedihan. Bangkit dari rasa pedih yang membuatnya sangat terkejut atas kepergian sang suami. Pada malam hari menjelang pagi, jeritan terdengar memecah telinga. Darah mengucur deras. Merzangus dan al-Isya yang tidur di samping Hanna segera bangun untuk mencari kain guna menghentikan pendarahan. Namun, seluruh upaya yang mereka lakukan sia-sia. Darah mengucur dengan begitu deras. 121Merzangus segera berlari memanggil salah satu dari tujuh dukun bayi yang paling dekat rumahnya. Langsung saja ia ketuk pintu yang seolah-olah dengan kepalan tangan. Saat pintu terbuka dengan keras, seorang nenek bernama Murver menghampiri. Nenek yang sudah lanjut usia dan bungkuk jalannya itu pun segera mengambil alat sebisa yang ia bawa. Keduanya berjalan dengan cepat menembus keheningan malam, kencang menuju rumah Hanna. Saat itulah mereka melihat rumah itu memancarkan cahaya. Setiap tempat gelap gulita, jalan-jalan setapak, gang-gang, bahkan daerah di sekitar permukiman terang benderang. Padahal, mentari masih lama terbit. Namun, cahaya terang yang terpancar dari rumah Hanna laksana mentari yang baru saja terbit. Nenek Murver pun mengangkat pandangannya ke arah langit. “Allah adalah wakil kita!” katanya seraya terus berjalan masuk ke dalam rumah. “Atas izin Allah, telah lahir bayi perempuan. Semoga Allah menjadikanya sebagai anak mulia!” kata Murver seraya membalut bayi yang baru lahir dengan kain. Saat Hanna sedang dalam suasana yang begitu perih, kepedihannya semakin menjadi saat mendengar bayi yang dilahirkannya adalah perempuan. Sebelumnya, ia telah berniat mengorbankan anaknya kepada Allah sehingga berharap yang lahir adalah anak laki-laki. “Ah! Ya Rabbi!” jeritnya pedih. Teringatlah apa yang dikatakan oleh Imran kepadanya. “Ya Rabbi! Sungguh, Engkau telah melahirkannya sebagai bayi perempuan saat diriku menantikannya sebagai bayi laki- laki.” 122Sementara itu, al-Isya yang menunggu di ruangan tempat kelahiran menimpali dengan berkata, “Puji dan syukur kita haturkan kepada Allah yang telah melahirkannya. Pasti Dia mengetahui apa yang seharusnya terjadi. Coba lihat, betapa cantik bayimu. Lihatlah, pasti kamu tidak akan mau lagi berpisah darinya.” Menangis Hanna sembari mendekap bayi yang baru saja dilahirkannya. Allah pasti Maha Mengetahui. Pasti Dia tahu bahwa bayi ini akan dikurbankan. Meski demikian, “Perempuan tidaklah seperti laki-laki. Ia lebih lemah secara isik. Tentulah ia tidak akan bisa mengabdi di masjid sekuat kaum laki-laki,” kata Hanna dalam hati seraya terus memikirkan apa yang akan terjadi. Dirinya telah salah mengira. Memang benar bayinya perempuan. Dan memang, perempuan tidak sama dengan laki-laki. Namun, bayi perempuan ini akan melakukan kebaikan yang tidak dapat dilakukan kaum laki-laki. Hanna belum mengetahui hal itu. Seandainya saja yang lahir adalah bayi laki-laki, pasti ia tidak akan mampu mengabdi sebagaimana jika yang terlahir perempuan. Hanna tidak tahu semua itu.... Hanna juga belum tahu kalau Zat Yang Maha Mencipta telah menghendaki bayi perempuan. Bayi yang baru saja lahir itu akan menjadi seorang ibu yang sangat penyabar, tabah, dan penuh keteguhan. Seorang ibu yang akan melahirkan seorang putra bernama Isa yang akan menyeru kepada seluruh dunia dengan ajarannnya. Seolah-olah ribuan lilin serempak dinyalakan dan ruangan menjadi begitu terang. Tidak hanya itu, harum semerbak wewangian juga tercium begitu memesona oleh setiap orang 123yang ada. Jelas tercium wangi bunga mawar segar, melati, mint, cengkih, dan oregano. Kening sang bayi juga begitu terang memancar laksana permata. Ia tersipu dengan senyuman maknawi yang mengembuskan ketenangan penuh makna. Begitu lain dibanding bayi pada umumnya. Merzangus juga terpana memerhatikan wajah mungil bayi yang akan menjadi teman dekatnya. Ia perhatikan bayi itu seolah-olah tersenyum dengan sisih waja yang kanan dan menangis pada sisi wajah yang kiri secara bersamaan. Mungil kedua tangannya, bergerak-gerak mencoba menggapai udara kosong yang ada di atasnya. Hanna berusaha mengumpulkan seluruh tenaganya untuk duduk bersandar di pembatas ranjang. “Ya Rabbi! Aku beri nama bayi ini Maryam. Aku berharap Engkau berkenan melindunginya dan keturunannya dari setan yang telah dihardik!” katanya. Hati Merzangus terasa begitu berdebar. Maryam adalah nama paling baik untuk diberikan kepada seorang bayi. Maryam bermakna seorang hamba yang tekun beribadah, tekun menghamba kepada Allah, dan juga berarti seorang perempuan yang begitu rajin bekerja. Maryam juga nama kakak perempuan Nabi Musa. Ibundanya yang bernama Hani telah mengutus Maryam agar Musa yang masih bayi dialirkan pada sungai dengan sebuah peti kayu. Sepanjang sungai ia mengikuti laju adiknya. Dengan penuh kehati-hatian, ia mengikutinya. Dan memang, ia adalah seorang yang cerdas dan cekatan. Begitu mendapati aliran peti kayu yang berisi bayi adiknya melaju ke kolam istana Firaun, segera Maryam bersembunyi di balik semak- semak. Kemudian, ia mendapati istri Firaun yang bernama 124Asiyah begitu bahagia mendapati bayi adiknya. Bahkan, ia juga mendengar Asiyah memang menginginkan seorang ibu untuk menyusui bayi yang didapatkannya. Tidak hanya itu, Maryam juga telah menjadi perantara agar ibundanya dapat datang ke istana untuk menyusui adiknya dengan air susu ibundanya sendiri. Demikianlah seorang Maryam. Ia begitu cerdik, cekatan, rajin, cerdas, pemberani, dan suka berkorban. Inilah silsilah Maryam ayahandanya bernama Imran, putra Masan, putra Yasyham, putra Amun, putra Minsya, putra Hazkiya, putra Ahaz, putra Yusam, putra Azriya, putra Yawsy, putra Ahzihu, putra Yaram, putra Yah Afas, putra Asa, putra Abya, putra Rahba’am, putra Sulaiman , putra Daud ... Ketika masih dalam kandungan, Maryam adalah seorang yang telah dipanjatkan doa kepada Allah agar terlindungi dari kejahatan setan. Dan benar, para alim pada masa-masa kemudian telah menjadi saksi kalau Maryam adalah seorang yang terlindungi dari setan dan kenistaan. Para alim di masa setelahnya pun telah membubuhkan catatannya demikian “Tidak ada satu bayi pun yang terlahir di dunia ini tanpa disentuh oleh setan. Karena disentuh setan, setiap bayi menangis. Namun, Maryam dan putranya Isa adalah terkecuali.” Bagaimanakah garis takdir seorang bayi? Bagaimana Tuhan menetapkan garis takdir pada seorang bayi yang diciptakan dari setetes air yang kemudian dibentuk 125menjadi embrio, dibentuk lagi dengan kerangka, daging, dan otot-otot sehinga menjadi bentuk yang sempurna? Tentu saja ini pertanyaan yang berat. Para alim yang lain juga menuliskan tentang sosok Maryam yang tidak tersentuh oleh setan sebagai berikut. “Ketika seorang bayi masih berada di dalam kandungan, malaikat bertanya kepada Allah untuk ditulis seperti apa garis takdirnya? Allah memerintahkan malaikat melihat ke arah kening ibundanya. Malaikat pun memerhatikan kening ibundanya yang terdapat catatan dan tampak bercahaya. Dari catatan itulah bentuk rupa sang anak di masa mendatang, ajal, kebahagiaan, dan kesedihan yang akan dialaminya terlihat satu per satu. Saat itulah malaikat meminta malaikat yang lain mencatat apa yang telah dilihatnya. Pada catatan itu pula malaikat membubuhkan tanda bahwa catatan tersebut dengan seizin dan perintah Allah dapat diubah di waktu kemudian. Setelah itu, hasil catatannya distempel dan ditempelkan di kening di antara kedua mata sang bayi. Saat bayi dilahirkan ke dunia dari rahim ibundanya, ada malaikat bernama Zajir yang mendekapnya. Dekapan itulah yang membuat setiap bayi menangis saat dilahirkan.”* Ada satu kalimat kunci tentang Maryam dan garis takdir yang telah ditetapkan kepadanya, yaitu “ia telah dikurbankan”. 126Ya, Maryam telah dikurbankan. “Kurban, nazar” sebenarnya janji untuk melakukan sesuatu padahal tidak diwajibkan kepadanya. Kalimat kunci kedua tentang Hanna dan Maryam adalah “mereka menjadi sosok merdeka”. Kata “merdeka” sangat lekat pada diri Maryam. Hal ini menunjukkan bahwa ia merdeka dari tipu daya dan nafsu dunia sepanjang kehidupannya. Kata “muharraran” yang berarti merdeka, diputusnya jeratan tali yang membelenggu yang hanya dapat dirasakan oleh orang yang menjadi budak. Jika masdarnya “tahrir”, berarti juga menuliskan, membubuhkan ke dalam kitab. Karena itulah Maryam adalah sebuah kitab yang lahir dari ibundanya. Terbebas Maryam dari semua jeratan. Saat belum dilahirkan ke dunia, ayahandanya telah tiada. Saat setelah kelahirannya pun ia mendapati ibundanya yang telah sakit. Satu pekan setelah kelahiran, pendarahan yang dialami Hanna semakin menjadi. Saat itulah, ketika al-Isya sedang kembali ke rumahnya untuk mencuci pakaian, Hanna mengambil kesempatan untuk memanggil Merzangus ke sampingnya. “Datanglah kemari wahai anakku yang baik!” “Ibundaku, Hanna! Bagaiamana keadaanmu hari ini, semakin membaikkah?” “Wahai anakku yang manis! Kamu kini telah menjadi anak yang lebih dewasa. Maryam juga nanti akan memanggilmu kakak. Sekarang, aku mau bicara sesuatu, tapi kamu jangan merasa takut!” “Ada apa, Ibunda?” “Kini, kamu sudah lebih dewasa, sudah menjadi kakak!” 127“Ibunda Hanna! Mengapa Anda bicara begitu? Kita akan bersama-sama membesarkan bayinya. Kalau Ibunda bicara seperti itu, tentu saja saya merasa sangat takut.” “Tidak ada yang perlu ditakuti, wahai anakku yang manis! Kemarin malam aku bermimpi bertemu dengan Imran, Merzangus. Aku sangat merindukannya sehingga aku pun berlari menemuinya. Mengapa kamu tidak lagi mengunjungi rumah kita,’ tanyaku kepadanya. Ia pun menjawab, Setelah amanahnya kamu serahkan, justru akulah yang menunggumu untuk datang ke sini besok malam.’ Kemudian, ia memanggilku dengan suara keras, Wahai saudara perempuan Harun,’ katanya sembari menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa. Jangan sampai lupa menyerahkan amanahnya,’ katanya mengulangi lagi pesannya.” “Baiklah, Ibunda Hanna. Jangan bunda paksakan. Kita tunggu al-Isya datang. Ia yang lebih tahu tabir mimpi ini. Semoga baik apa yang akan terjadi.” “Merzangus, jangan berpura-pura tidak tahu. Aku sudah lagi tak bertenaga. Tidak ada lagi waktu yang tersisa. Aku tidak bisa menunggu sampai al-Isya datang. Tolong bantu aku untuk bersandar. Tolong juga selimuti Maryam, kita berangkat ke masjid sekarang!” “Tapi, sama sekali tidak ada kain selimut. Al-Isya sudah membawa semuanya untuk dicuci. Sekarang Maryam hanya mengenakan kain tipis di buaian. Kita tidak bisa membawanya keluar tanpa selimut.” “Ambil saja baju jubahku di sana. Selimuti bayinya dengannya!” Meski telah berusaha keras menghalang-halangi, Hanna tetap kukuh untuk melakukan sesuatu. Dengan bayi yang 128diselimuti jubah dan tubuh yang sempoyongan, Hanna membawa Maryam ke masjid dalam dekapannya. Sesekali Hanna terpaksa harus beristirahat untuk beberapa lama... dan sesekali pula ia memberikan bayinya kepada Merzangus... Sementara itu, pendarahan yang dialami Hanna kian menjadi. Seakan-akan jalanan dari rumah hingga ke masjid dipenuhi darah. Tidak tersisa lagi tenaganya. Ia pun lemas bersandar pada sebuah tangga masjid. Para penjaga masjid pun berlari menujunya. Mereka berteriak-teriak keras. Beberapa orang lainnya membunyikan terompet dengan keras. Mereka melarang wanita memasuki masjid. Karena gaduh, para pengasuh pun berdatangan. Mereka tercengang melihat Hanna yang bersimbah darah membawa bayi yang diselimuti jubahnya. Hanna dan Merzangus pun lebih tidak menyangka kalau hal ini akan terjadi. Dengan sedikit tenaga yang masih tersisa, Hanna memegang bayinya seraya berkata, “Bayi ini telah aku kurbankan kepada Tuhan untuk menjadi anak yang merdeka, terbebas dari segala belenggu dan jeratan dunia. Namanya Maryam,” katanya, dan kemudian jatuh tersungkur seketika. Imran dan istrinya, Hanna, wafat silih berganti. Al-Quds pun guncang mendapati berita berkabung ini. “Anak adalah rahasia sang ayah,” demikian kata para leluhur. Demikian pula dengan Maryam. Karena ayahandanya orang yang mulia, para pangasuh masjid pun langsung menerimanya dengan penuh hormat. Kini, sudah tiada lagi yang tersisa selain bayi berselimut jubah yang telah diserahkan kepada masjid agar kenangan dari Imran tetap hidup. Seorang bayi dari keturunan Bani Masan yang bernama Maryam. 129Dialah bayi yang ayah maupun ibundanya keturunan Nabi Harun dan kini terbaring sendiri, ditinggalkan di atas tangga menuju masjid. Sang ibunda telah menyerahkan bayinya untuk dibimbing dalam ketaatan beribadah, belajar. Ayahandanya adalah Imran bin Masan, seorang alim yang paling terkemuka sehingga semua orang pun berebut untuk dapat menjadi wali asuhnya. Bahkan, beberapa orang yang telah dengan sembunyi- sembunyi menentang Imran saat dirinya masih hidup ikut saling berebut untuk dapat menjadi wali asuhnya. Iya, mereka tahu, siapa yang mengasuh bayi ini akan mendapati kemuliaan dan kehormatan, bahkan sejak sebelum dilahirkan . Demikianlah, Allah dengan kuasa-Nya telah menjadikan hati mereka cenderung mengasihi dan menyayangi seorang bayi bernama Maryam. Sama keadaannya dengan kisah Nabi Musa yang mendapati perlindungan di dalam istana, yang bahkan seorang Firaun pun cenderung mengasihinya. Begitulah kuasa Allah. Seorang yang berhati baja sekali pun dapat tiba-tiba menjadi lembut sehingga sang bayi dapat bertakhta di dalam hatinya.... -o0o- 130ha15. Pengsuh Marym Pada saat Maryam diserahkan, di Baitul Maqdis sudah ada empat ribu anak yang sama seperti dirinya. Mereka semua diserahkan untuk mengabdi di jalan Allah. Seluruhnya laki- laki. Setelah mulai dapat bicara, mereka diserahkan untuk disertakan dalam pendidikan di masjid. Ini berbeda dengan Maryam. Selain wanita, ia masih seorang bayi yang baru dilahirkan. Dirinya butuh wali untuk mengasuhnya sebelum dapat memulai pelajaran dan pendidikan di masjid. Pada saat itulah Nabi Zakaria berbicara dengan tegas. “Diriku menikah dengan bibi bayi yang telah dikurbankan ini. Oleh karena itu, dirikulah yang berhak menjadi walinya,” katanya dengan suara lantang sembari menuruni tangga di pintu masuk Baitul Maqdis. Namun, ketika Nabi Zakaria hendak mengangkat sang bayi, tiba-tiba ada seorang dari salah satu guru telah menghalang- halanginya dengan bersuara lantang pula. “Kami juga ingin menjadi wali asuh bayi mulia yang telah dikurbankan di jalan Allah ini. Anda tidak bisa mengasuhnya begitu saja! Kita harus adakan undian sehingga semua orang akan rela dengan hasilnya!” 132Ketika terdengar seruan untuk berbuat kebaikan yang seperti ini, semua guru juru tulis langsung beramai-ramai berebut untuk ikut melemparkan pena mereka ke dalam sungai. Barang siapa yang penanya tidak tenggelam, dirinyalah yang akan berhak menjadi orangtua asuh Maryam. Demikianlah adatnya... Mereka pun semua mengumpulkan pena kayu kepada seorang santri yang belum balig yang juga telah dikurbankan di jalan Allah. Dengan iringan doa dan puji-pujian, semua pena yang terkumpul akan dibawa ke pinggir sungai Yordan untuk diundi. Satu, dua, tiga, empat, lima.... Genap empat puluh pena. Dan keempat puluh pena itu menginginkan menjadi orangtua asuh Maryam… menginginkan untuk menjadi walinya. Sungguh, inilah kuasa Ilahi. Semua orang berlomba menerima kehadiran Maryam. Kedua mata Merzangus pun berkaca-kaca saat menyaksikannya. Kuasa Zat yang telah membolak-balikkan hati sehingga yang tadinya keras membatu kini menjadi lembut, berbalik menyayangi Maryam. Demikianlah, perlombaan untuk menyayangi Maryam terjadi di pinggir sungai Yordan. “Oh... sungai,” kata Merzangus. “Sungguh engkau seperti garis takdir yang membedakan antara yang benar dan yang salah, serigala dan domba.... Entah siapa yang tahu telah berapa banyak kejadian yang telah engkau saksikan hingga saat ini? Berapa banyak yang telah engkau telan ke dalam banjir aliran airmu? Berapa banyak yang engkau belai dengan embus angin sejuk menyegarkan dari permukaan airmu sehingga mereka pun mendapatkan kedamaian, kenyamanan, meski tidak ada pula yang tahu 133entah berapa orang yang engkau tenggelamkan hingga ke dasar aliranmu?” Oh sungai...! Sungai yang berambut panjang! “Oh sungai! Engkaulah yang telah menggenggam perintah Allah sehingga taat untuk meluap maupun menyurut, taat untuk menenggelamkan maupun mengangkat sesuatu, dan taat pula untuk memilih pena para juru tulis itu?” Jika Maryam yang masih bayi diberikan kepada al-Isya, bukankah memang dirinya yang paling tepat dan paling mulia untuk mengasuhnya? Namun, mengapa mereka yang menghardik dan menyakiti kedua orangtua Maryam saat masih hidup kini berbalik merasa memiliki hak untuk mengasuhnya? Mungkinkah hal ini terjadi? Benar, semua ini sedang terjadi. Namun, Merzangus seakan masih belum mampu mencernanya. Memahami penerimaan semua orang kepada Maryam yang akan menjadi kesaksian penting dalam kehidupannya kelak di masa mendatang. Perlombaan untuk menjadi orangtua asuh menandakan bahwa “mereka menerima Maryam sebagai bayi yang baik.” 134Tibalah saatnya untuk melempar pena ke dalam sungai. Semua pena tenggelam, kecuali satu. Tiga puluh sembilan pena tenggelam ke dasar sungai, kecuali satu. Dan pena itu atas kehendak Allah adalah milik Nabi Zakaria. Merzangus langsung dapat mengenali pena itu. Pena berhias bintik- bintik pada permukaannya. Ia pun luap dalam kegembiraan, mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke udara, melantunkan doa dan puji-pujian sembari berlari-lari kegirangan. Memang, seharusnya Maryam diasuh al-Isya, bibinya. Dengan undian itu, setiap orang pun tidak akan lagi protes. Semua orang harus rela karena undian telah diadakan dengan adil di muka umum. -o0o- Setelah melewatkan hari-hari yang pedih, kehidupan baru Maryam mulai disusun. Al-Isya dan Merzangus mendidik Maryam penuh dengan kasih sayang. Demikian pula dengan Nabi Zakaria. Ia mengasuh Maryam seperti anak kandung sendiri hingga Maryam dapat berbicara, duduk, berdiri, dan dapat mengerjakan semua kebutuhan diri sendiri. Selang waktu yang terus berjalan, semua anggota keluarga menyadari bahwa waktu untuk menyerahkan Maryam ke masjid sebagai anak yang telah dikurbankan telah tiba. Mereka mengasuh Maryam sampai menginjak usia enam tahun. Maryam adalah anak yang jauh lebih cerdas, peka, dan perhatian dibanding anak-anak sebayanya. Daya hafalnya juga sangat kuat. Begitu mampu berbicara, ia langsung mengenal 135kehidupan belajar bersama dengan Nabi Zakaria. Selain Merzangus, al-Isya dan Zakaria adalah dua orang yang selalu melindungi Maryam. Karena itu, saat menyerahkan Maryam ke masjid, mereka meminta pengurus masjid membuatkan satu ruangan khusus untuk Maryam. Selesai sudah waktu belajar di tahap pertama bersama dengan sang bibi, al-Isya. Tibalah waktu bagi Maryam untuk melanjutkan pendidikan pengabdian di masjid. Bibinya tentu merasa berat melepasnya. Saat sang suami memberi tahu waktu itu sudah tiba, al-Isya tidak kuasa menahan tangis. Bagi sang bibi, Maryam adalah kenangan terindah yang telah ditinggalkan mendiang kakaknya. Ia ibarat angin yang selalu berembus membawa ingatan kepada kakaknya. Udara yang berembus memberikan kesegaran mengenai masa lalunya. Dialah lilin yang masih tetap menyala dari keluarga Fakuza, darah yang masih mengalirkan keturunannya, musim semi yang menghidupkan ruangan sepi dengan memberi keindahan dengan warna-warni bunga. Demikian pula dengan Merzangus. Ia telah berjanji mengabdi, menopang, dan melindungi Maryam sampai mati. Janjinya ini semakin lama semakin dipahami dengan begitu mendalam saat merenungi bagaimana cendekiawan Zahter membawanya ke al-Quds sebagai seorang yatim. Sebuah perjalanan yang membawa pesan bahwa Maryam adalah tanda pertama kedatangan berita gembira yang telah dijanjikan. Maryam harus dilindungi, dijaga. Jika ia bukan seorang anak yang telah dikurbankan, pasti Merzangus dan juga al-Isya akan selalu melindungi dan tidak akan pernah mengizinkannya keluar dari rumahnya. -o0o- 13616. Ibi Sraj, Sng Penklk Snga Saat al-Isya dan Nabi Zakaria sedang mendiskusikan waktu yang tepat untuk menyerahkan Maryam ke Baitul Maqdis, Merzangus menuntun adik kecilnya itu jalan-jalan ke alun- alun al-Quds. Tempat itu dipenuhi penduduk yang sedang melakukan aktivitas jual-beli. Merzangus ingin membelikan Maryam pita warna-warni untuk mengikat rambutnya. Tangan Maryam pun dipegang erat-erat sambil menyusup dalam keramaian. Bising teriakan para penjual terdengar keras saat memasarkan barang dagangan, seperti cermin, sisir, dan perlengkapan kecantikan lain. Merzangus melihat gelang kaki yang terbuat dari batu berwarna biru laut yang sangat disukainya. Namun, karena harganya tidak cocok, ia pun tidak jadi untuk membelinya. Ia berpindah dari toko kain ke toko alat-alat tulis. Merzangus dan Maryam asyik melihat-lihat buku tulis, botol tinta, tempat pena, dan peralatan tulis lain. Saat itulah ada seorang pedagang dari Persia memerhatikan Merzangus ketika memilih-milih tempat pena. Pedagang itu pun berseloroh kepadanya. “Memang kamu bisa baca tulis?” 137Merzangus segera menurunkan cadarnya karena sadar dirinya sudah cukup dewasa. Merzangus bersama dengan Maryam pun segera meninggalkan toko alat tulis itu. Pada masa itu, kaum wanita masih dilarang membaca dan menulis. Tak heran jika dirinya sebisa mungkin merahasiakan kemampuannya dalam membaca dan menulis. Maryam, sebagaimana biasanya, sangat tidak suka keramaian. Keresahan menyelimuti dirinya karena berada di tengah-tengah keramaian. Keningnya dipenuhi keringat. Wajahnya memandangi Merzangus yang memengangi tangannya dengan erat seolah-olah ingin berkata, Ayo segera pergi dari sini’. Tidak lama kemudian, Merzangus pun memutuskan beranjak meninggalkan pasar. Namun, begitu keluar dari gerbang pasar, Merzangus berbelok arah untuk menghampiri kerumunan yang di dalamnya terdengar lantang ke udara auman singa. Meski ada yang berteriak ketakutan, sebagian tetap bersorak kegirangan. Sementara itu, hampir semua wanita terlihat takut. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Saat sedikit mendekati keramaian itu, Merzangus dan Maryam melihat seorang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam sedang berdiri tegak. Ia berseru kepada kerumunan orang dari tengah-tengah lapangan. Dari pakaian yang dikenakannya, tampak jelas orang itu berasal dari kalangan bangsawan. Saat memerhatikan cemeti yang dipegangnya, dengan dua singa besar berada dalam kandang serta tiga ekor ular besar melingkar di dalam tembikar, orang itu pasti berasal dari daerah Magribi. Merzangus segera menarik Maryam untuk segera beranjak dari pertunjukan sirkus yang dipenuhi orang-orang. 138Namun, Maryam justru menarik tangannya agar tetap berada di pinggir keramaian untuk menonton pertunjukan. Maryam memang dikenal sangat menyayangi hewan. Bahkan, ia sering mengajak bicara kucing-kucing dan burung piaraan saudara sepupunya. Maryam juga sering terlihat bercakap-cakap dengan keledai milik Nabi Zakaria yang bernama Kaukas. Belum lagi dengan anjing dan kucing-kucing di jalanan. Maryam begitu perhatian dengan menunjukkan kasih sayangnya kepada mereka. Saat itu, tampak pawang hewan mengenakan kerudung kepala yang terbuat dari satin berwarna biru. Terselip pula bunga mawar berwarna merah di dekat telinga sebelah kanan. Ia berjalan mondar-mandir untuk menarik perhatian pengunjung dengan melecutkan cemetinya sembari membacakan puisi dengan suara lantang. Mungkinkah orang ini keturunan pengembara nomaden yang datang dari daerah sangat jauh? Saat memerhatikan kedua singa yang berlarian karena cambukan cemeti sang pawang, tanpa sadar cadar penutup muka Merzangus sedikit terbuka. Saat itulah pawang itu berbicara kepada Merzangus dengan bahasa Arab yang begitu fasih. “Wahai wanita mulia, takutkah Anda?” tanyanya. Merzangus pun menjawabnya dengan bahasa Arab yang sama fasih. 139“Tidak. Aku tidak takut. Aku hanya kasihan kepada kedua singa itu karena perlakuan Anda ini!” Mendapati jawaban dari Merzangus, sang pawang dari Magribi itu malah tersenyum riang seraya kembali bicara dengan suara lebih lantang. “Oh, Anda bisa bahasa Arab dengan begitu fasih!” Merzangus kemudian tersadar. Ia lupa kalau dirinya sedang berada di tengah-tengah Pasar Farisi. Para penjaga pasar ternyata mendengar pembicaraan mereka. “Hai kalian berdua...!” seru seorang penjaga pasar kepada Merzangus dan pawang dari Magribi itu sambil menunjukkan tongkat kayunya. “Siapa kalian berdua ini!? Dari mana asal kalian? Bahasa apa yang baru saja kalian ucapkan?” Sang pawang Magribi itu segara mendekati petugas pasar itu. “Salam hormat saya haturkan kepada Anda. Mohon maaf sebelumnya. Saya adalah Muhsin Ibni Siraj, seorang pawang pengembara yang datang ke al-Quds dari Tarablus. Ini adalah dua singa peliharaanku bernama Layl dan Syams, sementara ketiga ular ini bernama Lam, Tam, dan Syam.” Ibni Siraj lalu mengeluarkan kipas berujung bulu burung merak dari dalam lipatan jubahnya seraya melambaikannya dengan menunduk untuk kembali memberi salam penghormatan kepadanya. Merzangus pun segera membenahi cadarnya sehingga penjaga pasar itu sama sekali tidak mengenalinya. “Engkau! Wahai wanita! Tuntunlah putrimu dan segera tinggalkan tempat ini. Dan engkau, wahai pawang! Kumpulkan kedua singa dan ular peliharaanmu. Engkau harus aku bawa 140ke kantor kependudukan di Baitul Maqdis untuk diperiksa mengenai izin tinggal di kota ini,” kata penjaga pasar itu dengan suara tegas. Dengan penuh kekhawatiran, Merzangus langsung mendekap Maryam seraya membawanya pergi. Sesampai di rumah, al-Isya tampak sedang menyiapkan pakaian dan perbekalan Maryam dengan wajah begitu sedih dan mata yang basah. Malam itu, Maryam akan diserahkan ke Baitul Maqdis. Merzangus juga terlihat terguncang. Semua orang sebenarnya tahu bahwa hal ini pasti datang. Begitu pula dengan Nabi Zakaria. Meski hatinya pedih, ia mencoba bicara untuk menguatkan perasaan semua orang bahwa tidak ada hal yang perlu dirisaukan. Ia yakin Allah adalah sebaik-baik Zat yang akan melindungi Maryam, termasuk dirinya dan juga yang lain. “Engkau adalah saudara Nabi Daud wahai Zakaria! Bukankah engkau tahu bahwa orang-orang yang selama ini memusuhi kita bermukim di dalam Baitul Maqdis? Apakah al-Quds masih seperti yang dulu sehingga kita berani memercayakannya kepada para rahib di sana? Bukankah kita semua tahu bahwa mereka tidak lain tangan kanan penguasa Romawi? Mungkinkah kita akan memercayai mereka sebagai ayah dan juga ibu baginya?” tanya al-Isya dengan nada sedih. “Ah, istriku! Bersabarlah! Di sana juga banyak orang yang mencintai Maryam. Janganlah engkau khawatir!” jawab Nabi Zakaria. Di antara semua orang, hanya Maryam yang tetap tersenyum. Dirinya tampak tegar dan berserah diri kepada 141
masjiddarussalam18 Download PDF Publications 228 Followers 19 Maryam Bunda Suci Sang Nabi Sibel Eraslan Maryam Bunda Suci Sang Nabi Sibel Eraslan View Text Version Category 22 Follow 1 Embed Share Upload
Nabi Zakaria semakin heran ketika melihat buah-buahan musim dingin berada di situ. Bahkan, buah-buahan yang namanya belum pernah diketahuinya pun ada dalam nampan tersebut. Baunya sangat harum, berwarna cerah, dan segar. Sungguh, dalam usianya yang masih sangat muda waktu itu, Maryam telah berkata penuh hikmah kepada Zakaria yang sudah berusia lanjut. “Jika berkehendak, Allah kuasa melimpahkan rezeki yang tidak terbatas...” Ya, sungguh benar apa yang telah Maryam katakan. Segalanya harus diminta dari sisi Allah. Dialah Zat yang perbendaharaan kekayaan-Nya tiada berbatas dan tidak mungkin berkurang. Sungguh, Maryam adalah putri yang mulia dengan kata- katanya yang penuh hikmah. Sebenarnya, hakikat yang didapati Maryam bersumber dari ajaran Nabi Zakaria. Kini, kepribadian mulia yang ada pada diri Zakaria telah berkembang, pecah menjadi dua. Nabi Zakaria pun mengangkat tangan untuk berdoa kepada Allah agar dikaruniai keturunan yang juga berhati mulia seperti Maryam. Maryam sangat jarang bicara. Dirinya selalu bergegas untuk kembali mendirikan salat dan memperbanyak zikir kepada Allah. Nabi Zakaria yang melihat kepribadian Maryam ini tak kuasa menahan tangis. Ia berucap syukur kepada Allah dalam lantunan doa. Sungguh, Maryam memang hamba yang mulia. Dia ibarat bunga yang terjaga dengan sempurna sepanjang hari, terutama di waktu malam yang digunakannya untuk selalu bertasbih kepada Allah. 192Seandainya dirinya dikarunia seorang putra yang mulia seperti dirinya... Demikianlah suara lembut hati Zakaria untuk berdoa kepada Tuhannya.... “Yang dibacakan ini adalah penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakaria, yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedangkan istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra yang akan mewarisiku dan mewarisi sebagian keluarga Yakub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridai.” Maryam 19 2-6 Kemudian, Zakaria berpamitan dengan Maryam untuk kembali membuka dan menutup semua pintu seraya keluar dari mihrab. Saat Nabi Zakaria berjalan di dekat tempat pengumpulan kurban, ia kembali melihat seorang pemuda berpakaian putih yang sedang menunaikan salat. Dengan cepat, Zakaria melangkahkan kaki mendekati pemuda itu. “Mengapa di malam yang gelap gulita ini pemuda itu sudah berada di sini? Bagaimana dia bisa memasuki ruangan ini? Tidak ada orang lain di tempat itu. Lantas, bagaimana dia tiba-tiba bisa masuk?” pikir Nabi Zakaria. Saat itulah sang pemuda yang tidak lain adalah Malaikat Jibril itu berseru kepada Zakaria . 193“Hai Zakaria, sungguh Kami memberi kabar gembira kepadamu akan beroleh seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dirinya.” Maryam [19] 7 Zakaria pun kaget seraya berlindung kepada Allah. Ia segera mengucapkan basmalah dan bergegas mendirikan salat. Suara yang baru saja didengarnya itu kini kembali berseru kepadanya. Para malaikat memanggilnya ketika dia berdiri melaksanakan salat di mihrab. “Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan kelahiran Yahya yang akan membenarkan sebuah kalimat firman dari Allah, panutan, berkemampuan menahan diri dari hawa nafsu, dan seorang nabi di antara orang-orang saleh.” Ali Imran [3] 39 Seusai mendirikan salat, Zakaria mengangkat kedua tangannya untuk kembali berdoa dengan hati yang paling khusyuk. “Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak, sedangkan aku sudah sangat tua dan istriku pun mandul? Berilah aku suatu tanda bahwa istriku telah mengandung.” Wahyu pun turun... Tandanya bagimu adalah bahwa kamu tidak dapat berbicara dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Dan sebutlah nama Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari.” Zakaria hampir pingsan tertelungkup saat bersujud. Ia pun melakukan sujud syukur atas kabar gembira itu. Kedua 194telinganya masih berdesing. Jantungnya juga berdebar-debar keras merasakan wahyu yang baru turun. Dirinya telah mendapatkan limpahan nikmat yang sangat besar. Allah telah menurunkan wahyu-Nya untuk memberikan kabar gembira yang telah bertahun-tahun dinantikannya dengan penuh harapan dan ratapan. Nabi Zakaria luluh dalam tangisan. Napasnya seakan-akan tersendat. Ia luluh dalam tangisan sampai susah bernapas dalam tangisan disertai batuk yang tidak berhenti. Beberapa saat kemudian, suara tangisannya terdengar seperti seorang yang terjepit di antara dua pintu atau tertindih batu. Doa-doa yang ia panjatkan seolah-olah telah mengeluarkan isi jantung dan hatinya. Tiba-tiba, dari dalam ruangan memancar seberkas cahaya. Pada saat yang sama, Zakaria merasakan tubuhnya ditindih sesuatu yang sangat berat. Ia pun kemudian berusaha melonggarkan ikatan pada kerah bajunya. Tubuhnya kembali tertelungkup saat mencoba berjalan menuju ruang persembahan karena lantai yang begitu dingin tersentuh kedua telapak kakinya. Nabi Zakaria pun menggigil seperti terkena malaria. Ia tidak mampu berbuat apa-apa. Tak mampu membuka mulut untuk berteriak meminta bantuan. Tubuhnya terus menelungkup dengan kedua kaki yang ia ganjalkan pada perut untuk menahan dingin yang semakin menjadi-jadi. Dingin yang luar biasa. Bibirnya kini bergetar dengan gigi- gigi yang saling berbenturan. Dalam kondisi seperti ini, tak ada yang mampu ia lakukan kecuali mengucapkan kata Allah lewat getaran di bibirnya. Entah berapa lama Zakaria berada dalam keadaan seperti itu. Ia mencoba bangkit, namun selalu kembali jatuh. 195Saat kedua matanya dapat terbuka, hari sudah menjelang pagi. Ia pun berusaha bangkit dalam keadaan sekujur tubuh kuyup oleh keringat. Perlahan, ia mencoba membenahi jubah dan syalnya, serta beranjak kembali ke rumahnya. Al-Isya sangat kaget begitu membuka pintu untuk suaminya. “Apa yang telah terjadi, bagaimana keadaan Maryam? Mengapa terlambat begitu lama?” tanya al-Isya. Zakaria tidak menjawab berondongan pertanyaan itu. Mulutnya seolah-olah terkunci dan lidahnya tidak lagi dapat berkata-kata. Seluruh kata tertelan ke dalam mulutnya. Nabi Zakaria tidak dapat berbicara. Kemudian, ia memberikan isyarat untuk diam dengan jari tangannya dan kemudian beranjak menuju kamar. -o0o- Genap tiga hari nabi Zakaria tidak keluar dari rumah. Kondisinya masih sama dengan hari pertama, terus menggigil dan menangis sambil berzikir kepada Allah. Orang-orang yang datang ke rumahnya mengira dirinya sakit parah. Mereka pun panik dan khawatir. Namun, Zakaria memberikan isyarat dengan tubuhnya agar mereka jangan sedih dan khawatir. Ia mencoba meyakinkan kerabatnya bahwa dirinya baik-baik saja. Tiga hari lamanya Zakaria dalam keadaan seperti itu. Yang keluar dari mulut Zakaria bukanlah kata-kata dan kalimat. Tidak ada seorang pun yang memahami arti suaranya dalam napas yang terengah-engah, tersedak dalam tangisan. Ia juga sama sekali tidak berkenan makan maupun minum. 196Akhirnya, al-Isya paham. Suaminya sedang menyimpan rahasia yang begitu luar biasa. Nabi Zakaria kembali jatuh pingsan setelah menyebut Yaa Rabb!’ Begitu siuman, ia segera mengambil wudu untuk mendirikan salat. Saat salat, ketika menyebut kata Ya Allah’, kedua kakinya gemetar sampai kemudian jatuh dalam sujud. Hanya isak yang sedu-sedan yang terdengar dari lafaz zikirnya. Makna dari lafaz-lafaz zikir itu, hanya Allah dan Nabi-Nya yang tahu. Nabi Zakaria tenggelam dalam lautan zikir. Lidah dan kedua matanya tidaklah berucap dan melihat selain kekuasaan Allah. Nabi Zakaria memang seorang ahli zikir. Hatinya begitu lembut. Ia telah mengorbankan seluruh hidupnya untuk merawat Maryam, keponakan dari istrinya. Sungguh, ia adalah seorang nabi yang penuh pengorbanan. Alim. Zuhud. Ia sangat senang menunaikan salat. Tidak pernah sejenak pun lupa dari berzikir kepada Allah. Namun, kondisinya saat ini luar biasa. Nabi Zakaria seolah-olah seorang hamba dari alam lain. Ia tidak berbicara dan hanya mengeluarkan suara yang menandakan cintanya kepada Tuhan tanpa seorang pun mengetahui maknanya. Sama seperti wahyu yang diberitakan, Zakaria tidak mampu berbicara dengan seorang pun. Tidak bisa berkata sepatah pun dalam bahasa dunia. Ia seolah-olah telah berada dalam dimensi dunia lain. Tidak ada lagi yang bisa diperbuat kecuali senantiasa berzikir. Zikir adalah salat, doa... Zikir adalah ingat dan mengingat, membangkitkan kembali akal, membersihkan dan membuatnya menjadi kembali fokus. Dan kini ia memusatkan semua titik fokusnya kepada Allah. 197Zikir seperti pergi ke luar. Menguak, melahirkan segala yang tersimpan dan terpendam sebagaimana melepaskan ikatan kuda dari dalam kandangnya untuk dipacu sekencang- kencangnya. Bagi Zakaria, ia kini sedang berlari sekencang- kencangnya kepada Allah. Terkoyak dalam kerinduan kepada- Nya, seperti hempasan aliran sungai menerjang batu-batu besar dari ketinggian gunung. Dan zikir adalah melesat ke depan. Melesat dengan kencang anak panah doa dan munajat yang terlepas dari busurnya menuju Allah. Setelah berada dalam keadaan yang begitu luar biasa menyimpan rahasia, Zakaria akhirnya kembali dapat berkata- kata dalam bahasa sehari-hari. Setelah menceritakan apa yang telah dialaminya kepada al-Isya, sang istri pun dengan penuh kesediaan dan kesetiaan membenarkannya. “Engkau adalah hamba tercinta dari Allah yang senantiasa melaksanakan perintah-Nya. Seorang yang selalu melindungi hak-hak anak yatim, yang hidup dengan kesahajaan, serta berbuat baik terhadap kerabat, tamu, dan musair. Sungguh, apa yang telah diwahyukan kepadamu adalah sesuatu yang hak. Dan diriku telah mendengar, beriman, dan taat dengan hal itu.” Betapa mulia diri al-Isya sebagai teman hidup seorang nabi. Gembira dengan penuh luapan kasih sayang Zakaria memandangi kedua mata istrinya yang memancarkan keimanan dan kesetiaan. Mereka pasangan yang baik, sahabat yang mulia, sempurna, dan senantiasa bersyukur kepada Tuhannya. -o0o- 198Setelah hari ketiga, Nabi Zakaria kembali berdoa kepada Allah. “Duhai Allah, jika bukan sebuah kewajiban yang telah ditindihkan di atas pundakku, niscaya diriku tidak akan mencoba berzikir kepada-Mu. Sungguh, diriku tidak mungkin kuat berzikir sesuai dengan keagungan-Mu. Jadi, bagaimana mungkin diriku akan mencoba melakukan hal seperti itu? Sungguh, dapat bertasbih kepada-Mu dengan sebenar- benarnya adalah kemuliaan yang paling agung. Semoga Engkau berkenan melimpahkan nikmat itu, duhai Allah! Dan sungguh, limpahan nikmat agung yang telah Engkau anugerahkan kepada kami tidak lain adalah mengalirkan lafaz-lafaz zikir kepada-Mu dalam lidah kami karena Engkau telah memperkenankan kami bertahmid, tasbih, bermunajat, dan memanjatkan doa ke haribaan-Mu. Sungguh, beribu syukur hamba haturkan ke hadirat-Mu, duhai Allah! Duhai Rabbi, semoga Engkau berkenan menyempurnakan limpahan nikmat-Mu atas diri kami. Karuniailah kami anugerah untuk selalu dapat mengingat-Mu, baik ketika sendiri maupun dalam keramaian, saat siang atau malam, terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, dalam kenyamanan maupun kesusahan. Jadikanlah kami seorang yang selalu beramal dengan hati yang bersih tanpa mengharapkan apa-apa. Ampunilah segala dosa dan kesalahan kami. Janganlah Engkau menimbang kesalahan- kesalahan kami dengan neraca timbangan yang terlalu jeli! Duhai Allah! Para hamba-Mu yang berhati bersih selalu terikat dengan cinta dan kasih-Mu. Sungguh, hati hanya akan mendapati ketenangan dan mencapai kedalaman dengan mengingat-Mu. Demikian pula rasa dan nafsu hanya akan mendapati kepuasan, bahkan mencapai kemuliaan, ketika 199mencapai diri-Mu. Engkaulah Zat yang akan membuat setiap makhluk senantiasa bertasbih di mana pun dan kapan pun. Engkau juga yang disembah pada setiap masa. Tidak ada awal dan akhir bagi keberadaan-Mu. Engkaulah Yang Mahaawal dan Mahaakhir. Tuhan yang dipinta dalam setiap bahasa, dalam setiap pujian dan doa. Ya Rabbi! Jika sampai saat ini diriku pernah menyangka adanya hal yang lebih menyenangkan dan menggembirakan selain dari berzikir mengingatMu, jika saja diri ini pernah merasa adanya ketenangan pada hal selain diri-Mu, pernah mencari kedekatan selain dari mendekatkan diri kepada-Mu, pernah menyibukkan diri dari taat kepada-Mu maka sungguh diri ini bertobat atas semua itu. Sungguh, diri ini tobat seraya memohon ampunan dari sisi-Mu!” Luluh Sang Nabi yang setia dalam linangan air mata... -o0o- Setelah berpuluh-puluh tahun kemudian, al-Isya pun mengandung. Nama bayi yang dikandungnya telah ditetapkan jauh sebelum sang bayi berada dalam kandungan Yahya. -o0o- 20020. Lngt pn Bergerk Peristiwa yang terjadi dengan Maryam ikut disaksikan langit dengan sebuah kejadian yang besar. Para ahli astronomi di Harran menyatakan hal tersebut. Saat itu, langit menunjukkan kejadian luar biasa. Yupiter muncul dari sebelah timur rasi bintang Aries. Pada waktu yang bersamaan, bulan juga berada pada lingkaran rasi bintang Aries, yang kemudian bergerak menuju ke arah Yupiter. Namun, secara tiba-tiba, Yupiter juga bergerak mengarah ke rasi bintang Aries. Setelah menetap selama beberapa hari, Yupiter bergerak mendekati bulan. Keadaan seperti itu tentu saja menggemparkan. Menurut perhitungan para ahli astronomi, posisi bulan dan Yupiter yang seperti itu akan menyebabkan tabrakan dahsyat. Kiamat pun bisa terjadi. Sungguh tidak aneh jika mereka merasa khawatir. Apalagi, Matahari dan Saturnus juga secara mengejutkan telah berada pada lingkaran Aries. Namun, saat para ahli astronomi memperkirakan tabrakan dahsyat antara bulan dan Yupiter akan terjadi, secara tiba- tiba Yupiter berbalik arah menuju belakang lingkaran bintang 201Aries sehingga hati para ahli astronomi dipenuhi kelegaan. Pada akhirnya, Yupiter kembali kepada garis edarnya di antara planet-planet. Namun, sebuah peristiwa yang dialami ilmuwan muda dari madrasah Harran yang bernama Keldani Urpinasy telah menimbulkan desas-desus dan gunjingan di mana-mana. Pada saat Yupiter mengalami pergerakan kembali pada garis edarnya, Urpinasy bersama dengan sahabatnya dari Arab yang bernama Ismail Alawi dan Efridun Hurmuzi yang dari Persia sedang menggambar peta angkasa. Entah apa yang telah terjadi, kedua mata Urpinasy tiba-tiba buta. Meski seorang dokter bernama Revaha Nejrani telah menyampaikan bahwa kebutaan itu bersifat sementara, gosip dan gunjingan tetap menyebar ke mana-mana. Para guru dari madrasah ilmu astronomi berkata bahwa kejadian itu adalah bentuk hukuman akibat melampaui batas saat ingin mengetahui sesuatu. Wajarlah jika ilmuwan muda itu mendapatkan kutukan dari roh jahat. Sementara itu, para ustaz yang berpegang teguh pada itikad dan keimanan yang hanif menyatakan bahwa hanya Allah yang menjadi satu-satunya penguasa untuk memberikan hukuman, sedangkan setiap makhluk, seperti roh jahat, sama sekali tidak memiliki kewenangan menghukum. Lebih dari itu, melihat kejadian luar biasa di angkasa dan juga peristiwa yang dialami Urpinasy, mereka yakin bahwa semua itu merupakan tanda-tanda hari kiamat telah semakin dekat. Bukankah memang demikian? Ilmu sudah tidak lagi dihargai, kemaksiatan dan dosa merajalela, serta orang-orang suci dan tidak bersalah diusir dengan paksa dari tanah kelahirannya. Bahkan, para nabi 202yang menyeru dan membimbing umat manusia kepada jalan kebenaran pun mereka bunuh. Semua kejadian itu telah membuat seorang ustaz bernama Berra bin Urkusyi yang telah berusia seratus tahun lebih menyendiri atau beruzlah di balik jeruji besi. Sungguh, semua tanda itu telah menggambarkan hari kiamat semakin dekat, mungkin tinggal beberapa saat lagi. Di sisi lain, Ismail Alawi, Efridun Hurmuzi, dan Urpinasy sangat tahu bahwa yang membuat mata mereka buta karena terkena cahaya menyilaukan adalah pergerakan bintang berekor. Menurut Alawi, sesuai dengan kisah Arab kuno, bintang berekor itu dinamakan Bintang Betlehem meski seorang kepala madrasah ilmu astronomi bernama Hezarfen Taki Rafeti yang terkenal skeptis telah menolak mentah-mentah pendapat ini karena dapat mengganjal upaya-upaya penelitian akademis. Hurmuzi kemudian mengingatkan perihal ujian lisan di bulan depan sehingga menyarankan sahabatnya tidak pernah menyinggung tentang cerita-cerita kuno. Hal itu dapat membuat para ustaz yang menguji tes lisan naik pitam. Ismail Alawi pun setuju sehingga cerita kuno tentang bintang Betlehem hanya menjadi rahasia di antara mereka bertiga. Meski buta sementara yang diderita Urpinasy telah sembuh, pengaruh khayalan selama sakit tidak juga kunjung lenyap dari angan-angannya. Selama sakit, Urpinasy mendengar seruan tentang kedatangan seorang raja yang dapat menyembuhkan orang-orang sakit, memulihkan orang buta, menyembuhkan kusta, hingga kemudian dirinya akan diangkat ke langit. Ia juga mendengar bahwa dirinya harus mengikuti pergerakan bintang berekor itu ke arah Betlehem untuk mengikuti jejak sang raja. 203Setelah menyelesaikan ujian akhir tahun, ketiga pemuda itu memutuskan mengikuti jejak bintang berekor itu. Mereka menghadap para ustaz di madrasah ilmu astronomi dan meminta izin mengadakan perjalanan ke arah Suriah untuk mengunjungi saudaranya. “Kita semua harus menyuguhkan dalil berupa hadiah kepada sang raja yang ditunjukkan bintang ekor itu,” kata Urpinasy. Ini adalah adat, kebiasaan kuno yang sangat penting dalam kelahirannya di tempat para penyembah api. Teman- temannya yang lain juga menerima pemikirannya ini. Saling memberikan hadiah adalah hal mulia. Sesuai dengan mimpi Urpinasy Hurmuz Efridun akan memberikan emasnya’; Urpinasy Hovhannes membawa tanaman murrusafi; dan Ismail Alawi mengajukan kendir untuk diberikan kepada raja yang akan dilahirkan sebagai sebuah dalil dan penghormatan. Hurmuz berkata, “Karena dia adalah tuan bagi semua manusia, seorang yang paling terkemuka dan mulia, aku akan memberikan hadiah yang paling mulia pula, yaitu emas.” Tak ketinggalan, Urpinasy berkata “Karena sang raja ini akan menyembuhkan banyak orang sakit, memulihkan kembali penglihatan orang buta, aku memilih tanaman murrusafi yang mengandung banyak khasiat dan cepat menyembuhkan luka. Ini sebagai dalil dariku.” Ismail Alawi menambahkan, “Karena sang raja akan diangkat ke langit, aku akan memberikan hadiah berupa kandir, yang ketika dibakar asapnya paling cepat terangkat ke langit.” 204Sang raja yang dimaksud tidak lain tidak bukan adalah Isa . Mereka tidak tahu dan hanya sebatas mengejar rasa ingin tahu. Mereka terus berjalan menyusuri arah bintang yang mereka amati dengan teropong. Setelah tiga bulan kemudian, mereka telah sampai ke kota al-Qudds. Pakaian dan logat bicara yang sangat berbeda membuat semua orang memerhatikan mereka. Lebih-lebih, mereka berdialog menggunakan bahasa Latin. Tak pelak, para penjaga keamanan langsung membawa mereka ke hadapan sang raja untuk memastikan kemungkinan mereka adalah utusan raja dari Roma. Kini, mereka telah berada di depan penguasa al-Quds, yaitu Raja Herodes. “Yang mulia. Kami adalah ahli astronomi yang datang ke kota Anda dari Harran dengan melewati Damaskus. Kami sedang mengikuti arah pergerakan bintang berekor. Orang- orang Arab menamakannya bintang Betlehem. Sesuai dengan kitab suci yang kami pelajari di madrasah Harran dan juga dari kitab suci yang diyakini karya Nabi Danial, pada masa yang dekat akan lahir raja yang memiliki kelebihan ruhani luar biasa. Kedatangan kami ke sini adalah untuk mencari jejak raja itu,” kata Efridin Hurmuzi mengawali diplomasinya dengan keulungan gaya Persia. 205Setelah menyimak penuturan itu, perhatian sang raja tertuju kepada Zakaria dan keluarganya. Selama ini, Zakaria dianggap masyarakat sebagai nabi dari kaum Bani Israil. Dalam diri dan keluarganya sering terdengar hal-hal luar biasa yang mendekati apa yang telah disampaikan para ahli astronomi itu. Sang raja pun tak luput dari ingin memanfaatkan para pemuda ahli astronomi itu untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya dan mengusut keberadaan seorang bayi yang disebut-sebut akan lahir sebagai raja itu. Herodes berencana secepat mungkin mengakhiri nyawa bayi itu. Herodes lalu menerima dan menyambut ketiga pemuda ahli astronomi itu dengan baik. Ia berharap mereka dapat segera menunjukkan jejak seorang bayi yang nantinya akan menjadi lawan posisinya sebagai seorang raja. “Silakan makan dan minum sepuasnya. Anda sekalian adalah tamuku,” kata Herodes. “Jika nanti kalian telah menemukan sang raja yang dimaksud, segera beritahuku sehingga kami dapat segera memberikan penghormatan dan pengabdian yang semestinya dilakukan. Dengan demikian, rakyat kami dapat mengambil manfaat dari keahlian dan ilmu Anda sekalian.” Setelah bicara untuk beberapa lama, Herodes segera kembali ke dalam ruangannya tanpa sedikit pun ikut makan. 206Ketiga ahli astronomi itu memang diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk mengadakan perjalanan dan penelitian tanpa mengalami sedikit pun hambatan dan larangan. Namun, di balik semua itu, tanpa mereka sadari, sang raja juga telah menyebar mata-mata untuk selalu mengikuti setiap gerakan mereka. -o0o- 20721. nugerah uar Bisa Dalam waktu yang singkat, Maryam telah memikat hati setiap orang. Ketakwaan dan doa-doa yang senantiasa ia panjatkan telah menebar kasih sayang kepada semua orang. Setiap malam Maryam mengunjungi orang-orang yang menderita sakit untuk berbagi penderitaan bersama dengan mereka. Maryam menyeka kening mereka dengan kain yang dibasahi air hangat dan tak lupa mendoakan kesembuhannya. Anak-anak yatim juga selalu menunggu-nunggu kedatangan Maryam. Mereka akan saling berebut memegangi tangannya dan tidur di atas pangkuannya. Maryam juga sangat mencintai mereka. Maryam akan membelai dan menyisiri rambut mereka, membasuh muka mereka, serta berbagi segala yang ia miliki, seperti roti kering maupun setandan anggur. Maryam seakan-akan menjadi seorang perawat bagi masyarakat miskin dan lemah. Ia selalu mendatangi rumah setiap orang yang membutuhkan ketenangan jiwanya yang begitu luas. 208Selama tinggal di dalam mihrab, Maryam selalu mendapatkan berbagai anugerah luar biasa. Ia kerap mendengar suara-suara, yang tak lain adalah suara malaikat yang sedang berbicara dengan Maryam untuk menyampaikan perintah Allah. Nabi Zakaria juga seorang yang sering mendengar suara seperti itu. Perbedaannya, karena Zakaria seorang nabi, malaikat dapat berbicara dengan wujud seorang manusia, sementara Maryam hanya mendengar suara. Kemampuan Maryam mendengar suara para malaikat inilah telah menjadikan dirinya dijuluki Muhaddasa. Para rasul dan nabi mampu melihat malaikat yang membawa wahyu atau bermimpi bersama para malaikat yang membawa wahyu. Sementara itu, para muhaddasa mampu mendengar suara para malaikat yang membawakan wahyu kepadanya. Suara itu berkata seperti demikian... “Wahai Maryam! Allah telah memilihmu.” Suara ini terdengar semakin menggema memenuhi mihrab tempat Maryam berada. “Allah telah memilihmu, dengan menciptakanmu begitu suci. Ia telah memilihmu di antara semua wanita di dunia!” “Wahai Maryam. Taatlah kepada Tuhanmu.” “Sujud dan hormatlah kepada Tuhanmu!” “Terhadap orang-orang yang rukuk kepada-Nya, ikutlah kamu rukuk.” 209Suara ini kian hari kian menggema. Cahaya nurani yang dipancarkannya memenuhi seisi mihrab. Setiap kali menggema, suara itu memantul begitu harmonis ke arah dinding-dinding mihrab sehingga menjadikan hati Maryam hanyut dalam perasaan yang begitu lain. Sebuah perasaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Karena itu, dalam diri Maryam muncul keringanan untuk segera melaksanakan apa saja yang diperintahkan wahyu itu dengan penuh semangat dan penghambaan. Peristiwa yang dialaminya pada akhir-akhir ini telah membuat Maryam semakin rajin beribadah. Maryam makin berlama-lama diri, rukuk, dan sujud dalam salat sehingga pergelangan kakinya mulai bengkak. Anehnya, ia sendiri tidak merasakan kelelahan sama sekali. Sering Maryam tidak bangkit dari sujud sampai berjam-jam. Seolah-olah kening Maryam semakin luas, meninggi menggapai percikan cahaya Ilahi. Kening Maryam yang terangkat luas dan tinggi... Kedua tangan Maryam yang terangkat luas dan tinggi... Adalah tanda awal dari seorang anak yang dikurbankan kepada Tuhannya... Demikianlah kening dan tangan Maryam menjadi begitu terang bercahaya karena terus bersujud. Dalam perintah “Terhadap orang-orang yang rukuk kepada Tuhannya, engkau juga ikut rukuk”, Maryam memahami kalau dirinya harus ikut berdoa dan mendirikan salat dengan para alim di Baitul Maqdis. 210Sehari menjelang Hari Raya Mawar, dengan sembunyi- sembunyi Maryam ikut salat bersama dengan para alim. Ia berada di barisan paling belakang di kubah Sahra Suci. Sebagaimana perintah wahyu yang ia dengarkan, keinginan Maryam semata-mata hanya untuk dapat rukuk dan sujud bersama dengan para alim. “Sujud bersama dengan orang- orang yang sujud....” Namun, sesuai dengan perintah para rahib Baitul Maqdis, wanita dilarang memasuki kubah Sahra Suci yang terletak di sebelah timur tempat amanah-amanah suci disimpan. Jangankan masuk, mendekat saja kaum wanita dilarang keras. Dengan perintah Ilahi, Maryam telah mendirikan salat berjamaah di Kubah Suci itu seraya mengakhiri larangan dan hal yang dianggap tabu oleh peraturan selama ini. Para rahib yang melihat Maryam berada di sana menjadi marah besar. Mereka dengan tega mengusir dan menyiksa Maryam dengan tindakan yang sangat kejam. Maryam telah diputuskan menerima hukuman yang berat. Semua orang yang tidak terima dengan apa yang dilakukannya ini telah meminta agar hukuman yang diberikan adalah mati. Begitu mendengar keributan, Zakaria langsung berlari menuju tempat para rahib berkumpul untuk memutuskan perkara. Saat Nabi Zakaria menyampaikan bahwa Maryam telah mendengar suara yang telah memerintahkannya untuk beribadah secara berjamaah, kemarahan dan penghinaan semakin bertambah. 211“Apa? Mungkinkah seorang wanita, apalagi masih bocah, mendengarkan suara dari Ilahi? Mungkinkah ia mendapatkan wahyu dari Allah? Mungkinkah malaikat memberikan ilham kepadanya? Mungkinkah semua ini terjadi? Ketika ada begitu banyak orang yang telah mengabdikan seluruh hidupnya di jalan Allah sampai rambut janggutnya memutih semua, bagaimana mungkin malaikat memberikan wahyu kepada seorang bocah? Belum cukupkah Zakaria yang menyatakan dirinya sebagai nabi sampai-sampai Maryam juga menerima wahyu? Keributan semakin meluas. Semua orang bicara dengan nada keras penuh kemarahan, seolah-olah sudah tidak kenal kata ampun lagi. “Apakah engkau sadar dengan apa yang engkau ucapkan wahai Zakaria? Mungkinkah Allah berirman kepada wanita?” “Apakah kamu sekarang ingin menyatakan persamaan antara wanita dan laki-laki, wahai Zakaria?” “Bukankah engkau mengetahui syariat Musa wahai Zakaria?” “Bagaimana engkau bisa lupa bahwa dalam syariat Musa wanita dilarang memasuki Kubah Suci?” “Sungguh, engkau adalah orang yang telah keluar dari syariat. Hukuman yang layak bagimu adalah mati.” Demikianlah mereka menghina dan mengancam Zakaria. “Semua ini,” kata Nabi Zakaria “adalah syariat milik kalian dan bukan syariat Musa !” “Tapi... syariat ini telah selama bertahun-tahun menyatukan kita dan mengatur kehidupan kita!” sergah Mosye “Syariat kamu sekalian telah jatuh untuk berbuat kezaliman,” lanjut Zakaria. 212“Selalu saja kalian berkata syariat. Padahal, yang seharusnya adalah melihat hati kalian, wahai saudara dan para putra pamanku. Sungguh hati, kalian sudah berkarat, sudah tidak ada lagi rasa belas kasihan dan iba. Kita saksikan rakyat berada dalam kemiskinan, kelaparan, sakit, dan menderita beban pajak yang begitu berat. Coba sekarang tolong kalian katakan, di mana syariat yang kalian sebut-sebutkan itu? Dengan mengatasnamakan syariat, kalian mengumpulkan harta dari kurban dan persembahan. Namun, apa yang kalian lakukan selain hanya menyalakan perapian suci? Inikah yang kalian semua sebut-sebut sebagai syariat? Padahal, tidakkah Yahova telah berkata dalam Taurat? Aku mencintai kasih sayang dan kedekatan, bukan daging kurban. Aku menginginkanmu agar mengenal Allah bukan bagaimana memegang api obor peribadatan.’ Lalu, sekarang apa yang telah terjadi dengan hati kalian? Tidakkah kalian mendengar apa yang telah Yahova katakan? Aku menginginkan masyarakat yang kesadaran mereka senantiasa mengalir di dalam jiwa sebagaimana air mengalir. Keadilan mengalir seperti aliran sungai yang tidak pernah mengering.’ Anak-anak yatim dan para wanita janda terpaksa harus meminta-minta untuk dapat mengisi perut mereka. Kaum fakir miskin tidak mampu mendapatkan pakaian. Sampai, orang-orang telah mulai meninggalkan al-Quds untuk mencari daerah yang dapat memayungi kehidupan mereka dengan keadilan. Namun, kalian masih juga menikmati kehidupan yang penuh dengan kenyamanan serta terus mendakwahkan syariat. Sungguh, aku khawatir sekali dengan jiwa kasih sayang yang telah hilang dari dalam jiwa kalian. Dan sungguh, kalian telah merugikan diri kalian sendiri.” 213Seisi Baitul Maqdis masih bergema dalam seruan lantang Nabi Zakaria. Namun, hati mereka membisu dan tuli sebagaimana bisu dan tulinya bebatuan. Bahkan, mereka telah meminta Maryam dan Zakaria dihukum dengan kematian... Dalam keadaan seperti ini, bagaimana mungkin Maryam akan tetap bertahan di Baitul Maqdis? -o0o- 21422. Malakt Trn kpada Marym Tirai Ketika mulai tumbuh dewasa, Maryam menyelimuti seisi mihrabnya dengan tirai. Tirai itu pula yang membatasi Zakaria dan Yusuf sang tukang kayu saat berkunjung dan berbicara dengannya. Padahal, sewaktu kecil, Maryam selalu menantikan kedatangan Yusuf. Tukang kayu itu kerap membawakan mainan dari tempurung kemiri yang dicat warna-warni oleh Merzangus. Bahkan, Yusuf juga membawakan anak kucing atau burung yang menjadi kesukaan Maryam. Ia akan menyimpannya rapat-rapat di dalam keranjang untuk dibawa ke dalam mihrab. Bersama dengan Maryam, Yusuf membawakan kendi untuk diisi air pancuran dari pelataran masjid. Yusuf juga sering membawakan mainan berbentuk mahkota yang terbuat dari rangkaian bunga kering atau rajutan benang. Tidak pernah Yusuf datang ke mihrab tanpa membawa sesuatu yang dapat mengambil hati Maryam. 215Saat tirai itu menyelimuti seluruh ruangannya, terbesit dalam benak Yusuf bahwa Maryam telah menginjak usia remaja. Ini bukan semata-mata tirai. Ini juga menunjukkan perjalanan rohaniah Maryam yang membedakannya dengan manusia lain untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhannya. Semakin kuat penghambaan Maryam, semakin terpisah jauh dari himpitan-himpitan benda dan segala yang berbau dunia. Maryam pun mampu menyusup dan lolos darinya. Maryam adalah seorang yang berlari kepada Allah. Bagi manusia umum, tirai tampak sebagai sebuah penghalang. Bagi Maryam, ia adalah sebuah jalan, tataran yang akan mengantarkannya kepada ketinggian kedudukan yang lebih mulia. Maryam adalah pejalan yang telah mengarungi perjalanan menuju Allah. Tirai adalah isyarat bagi manusia yang berada di belakangnya. Ia ibarat lentera, cahaya penunjuk jalan. Tirainya adalah isyarat bagi Maryam. Tapak kedua kakinya adalah tanda penunjuk jalan bagi setiap manusia yang akan mengikuti jejak di belakangnya. Laksana sebuah mercusuar cahaya yang memberi petunjuk arah bagi kapal yang sedang mengarungi lautan kelam. Begitulah tirai Maryam. Ia akan menunjukkan jalan bagi setiap pejalan Rabbani, pemberi tanda bagi arah dan tujuannya. Dan tirai adalah busana, hijab, bagi Maryam. 216Tirai busana yang memberi tanda seorang Maryam. Tanda akan jalan yang dilaluinya, tanda ketakwaannya. Tirai bukan sebuah penghalang. Ia adalah papan petunjuk. Pedoman yang memberikan pemahaman, saran, dan anjuran mengenai lika- liku dan kesulitan sebuah perjalanan. Demikianlah arti tirai Maryam. Dan Maryam adalah seorang pemalu. Semakin tirai di depannya tergelar, dirinya akan semakin berselimut dengan tirai baru di belakangnya. Semakin ia mendekatkan diri kepada Sang Kekasih, semakin semangat dirinya dalam khusyuk yang membuai, tersungkur dalam sujud, bersimpuh dalam penghambaan, malu dalam limpahan kelembutan yang tercurah dari Tuhannya. Malu dalam buaian rahasia Ilahi yang diperuntukkan baginya sehingga menutupi diri seperti dekapan erat seorang ibu kepada bayinya. Semakin menyelimuti diri, Maryam semakin terbuai dalam kekhusyukan penghambaan. Lewat tirai itulah Maryam menapaki tatarannya, terpelihara dan terjaga dirinya dalam kemuliaan. Inilah dasar yang akan menyangga kehidupan yang akan dipikulnya di masa datang. Tirai Maryam bukan sebuah penghalang. Ia hadir demi semangat kekhusyukannya yang ingin mengutarakan isi hati. Dialah seorang yang begitu memelihara dan melindungi segala yang ada pada dirinya. Sosok yang mengejawantahkan dirinya di balik tirai. Seakan-akan tirai itu memelas hati 217manusia dengan mengatakan Mohon lepaskanlah diriku, jangan engkau sentuh aku, janganlah halangi langkahku.’ Tirai Maryam juga sebuah ijazah, tanda kelulusan dalam pendidikan kehidupannya, karena tirai itu menunjukkan kesempurnaannya. Tirai yang menyelimuti Maryam ini di kemudian hari telah menjadi risalah, wasiat berhijab bagi kaum wanita ahli tauhid. Demikianlah, para muwahhidah adalah tanda bagi hijab yang dikenakan Maryam. Hijab adalah kaum hawa, isyarat yang menjadikan mereka seperti Maryam. Dan hijab Maryam adalah kehormatan. Bahkan, Zakaria dan juga Yusuf sang tukang kayu memahami hijab itu sebagai benteng kokoh lagi perkasa saat melihatnya. Maryam adalah bendera tauhid, yang mengibarkan panji kehormatan dengan berhijab memasuki mihrab. Maryam telah menginjak dewasa. Maryam telah memasuki alam barzakh dunia baru... Tirai tipis yang melintang membatasi masa kecil dengan usia dewasanya. Hijab yang menjadi tanda kedalaman alam barzakh ini sudah bukan lagi sebatas tabir, melainkan hijabnya dan perangainya yang baru, adalah pembiasan dari kedalaman rohaninya. Tirai hijab Maryam adalah penyimpan, pembungkus, sebagaimana ia juga merupakan penguak dan pengingat akan apa yang terkandung dalam rohaninya. 218Tirai dan hijab Maryam ibarat cangkang bagi mutiara. Cangkang yang menutup diri serapat-rapatnya setelah meneguk air hujan di bulan April. Perjuangan, pengorbanan doa, dan penghambaan yang dengan tetesan air hujan yang sama akan melahirkan mutiara. Tirai dan hijab Maryam laksana sayap yang telah siap terbang, mengepak penuh dengan kencang. Tirai inilah yang menyiapkan Maryam kepada Jibril. Jibrillah yang mengepakkan sayapnya kepada Maryam, sementara Maryam kepada putranya. 17. lalu dia memasang tabir yang melindunginya dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka dia menampakkan diri di hadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna. 18. Dia Maryam berkata, “Sungguh, aku berlindung kepada Tuhan Yang Maha Pemurah terhadapmu, jika engkau orang yang bertakwa.” 19. Dia Jibril berkata, “Sesungguhnya aku hanyalah utusan Tuhanmu, untuk menyampaikan anugerah kepadamu, seorang anak laki-laki yang suci.” 20. Dia Maryam berkata, “Bagaimana mungkin aku mempunyai anak laki-laki, padahal tidak pernah orang laki-laki yang menyentuhku dan aku bukan seorang pezina!” 21921. Dia Jibril berkata, “Demikianlah.” Tuhanmu berfirman, “Hal itu mudah bagi-Ku, dan agar Kami menjadikannya suatu tanda kebesaran bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu urusan yang sudah diputuskan.” Maryam [19] 17-21 Agar tidak merasa takut dan memahami apa yang diwahyukan, malaikat diturunkan kepadanya dalam wujud manusia. Kesamaan dimensi sebagai manusia tentu akan mempermudah Maryam sehingga mereka berbicara dalam bahasa yang dimengerti. Malaikat Jibril juga guru yang sempurna sebagaimana halnya sebagai malaikat yang menurunkan wahyu. Dengan perkataan yang penuh hikmah dan tutur kata yang sopan, Jibril telah menjadi guru besar dan pendukung Maryam dalam memikul tugas yang ditumpukan kepadanya al-Baqarah [2] 87. Setelah penyampaian wahyu selesai, Maryam merasakan embusan sampai ke bulu kuduknya. Hawa dingin terasa di sekujur tubuhnya. Hati Maryam dipenuhi perasaan khawatir saat malaikat menampakkan dirinya dalam wujud pemuda yang begitu tampan. Embusan hawa ketenangan pun akhirnya merasuk ke dalam jiwanya sebagai kuasa Ilahi yang telah membuat Maryam rela kepada takdirnya. -o0o- 220Saat Yusuf sang tukang kayu menyapu di sekitar mihrab, ia melihat bayangan Maryam di balik tirai yang kian hari berubah- ubah. Ia pun mencoba untuk tidak memerhatikannya. Dan lagi, ketika suatu hari Yusuf hendak menyalakan lentera untuk membersihkan sekitar mihrab, bayangan tampak dari balik tirai Maryam yang sedang terbaring. Saat itu, ia memerhatikan keadaan tubuh Maryam yang terlihat seperti seorang ibu yang sedang mengandung. Yusuf tergetar menyaksikan hal itu. Lentera yang ada di tangannya pun terjatuh. Suara itu membuat Maryam kaget. Namun, begitu melihat Yusuf sedang bersih-bersih, Maryam pun menyapanya. Saat itu, suara Yusuf tidak seperti biasa, seolah-olah bukanlah sosok yang dikenal Maryam. Basah kuyup sekujur tubuh Yusuf oleh keringat dingin. “Pasti setan telah mengembuskan desas-desus kepadaku. Apa yang aku lihat tadi tentu hanya sebuah khayalan,” demikian kata Yusuf pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin seorang Maryam dapat hamil? Bukankah mihrabnya telah dikunci berlapis tujuh? “Tidak... tidak mungkin hal itu terjadi!” kata Yusuf meyakinkan diri. Meski demikian, penglihatannya seperti tidak mau percaya pada kata hatinya. “Tidakkah matamu benar-benar melihat bahwa dia hamil?” “Tidak... tidak mungkin!” kata hatinya, kembali meyakinkan diri. “Maryam adalah seorang suci. Dia hamba yang secara khusus telah dipilih oleh Allah.” Yusuf pun menunduk sekali lagi untuk mengambil lentera yang terjatuh. 221“Oh... benar!” kata Yusuf di dalam hati. Ternyata benar, pandangan matanya tidak menipu. Ia melihat tubuh Maryam seperti seorang hamil yang sedang memegang tasbihnya dan berzikir. “Tapi.... Bukankah dirinya selalu melewatkan siang dan malam hanya untuk beribadah kepada Allah? Tidak! Tidak! Tidak” Yusuf pun kaget dan bingung. Bagaimana mungkin semua ini terjadi? Ia pun tidak kuasa menahan diri untuk tidak bertanya kepada Maryam. “Wahai Maryam. Aku ingin bertanya kepadamu tentang suatu hal apakah kamu sedang luang?” “Tentu saja. Semoga saja aku bisa menjawab apa yang akan kamu tanyakan.” Tetap terjaga. Keduanya bersimpuh mengindahkan tata krama dalam ruangan yang berbeda, di antara tirai tipis namun begitu kokoh membatasi. Luaplah keduanya dalam linangan air mata saat yang satu bertanya dan yang satu menjawabnya. “Wahai Maryam! Mohon katakan kepadaku, mungkinkah pohon dapat tumbuh tanpa benihnya?” Maryam memahami apa yang dimaksud oleh pertanyaan itu. “Mungkin...,” jawab Maryam dalam tangis. Kali ini, Yusuf pun ikut luap dalam tangis seraya bertanya kembali, “Bagaimana mungkin?” “Tidak diragukan lagi bahwa Allah telah menciptakan makhluk yang pertama tanpa benih. Persemaiannya tanpa benih dan begitu pula benihnya tanpa persemaian. Tidakkah engkau juga mengetahui hal ini? Namun, jika engkau masih 222terusik dalam pertanyaan, jika saja benih tidak dijadikan oleh- Nya, Ia pun tidak mensyaratkan persemaian.” “Sungguh, diriku berlindung kepada Allah dari berkata yang demikian. Namun mohon katakan, mungkinkah pohon dapat tumbuh tanpa siraman air, tanpa curahan hujan?” Kembali Maryam tertegun menelan ludah.... “Ah, Yusuf.... Benih diturunkan dari tumbuhan yang diciptakan pertama kali oleh-Nya tanpa benih. Lebih dari itu, biar menjadi ingatanmu bahwa Allah pertama kali mencipta tumbuhan tanpa curahan hujan. Kemudian, setelah terjadi penciptaan seperti ini, Allah pun menjadikan hujan sebagai syarat tumbuh pepohonan. Dalam keadaan seperti ini, akankah engkau menyatakan, jika saja tiada hujan, kuasakah Allah menciptakan pepohonan?” Maryam menuturkan semua ini dalam kata-kata dari dalam jiwanya yang penuh dengan kepedihan. Apa yang telah terjadi kepadanya adalah suatu kejadian yang tidak pernah diujikan kepada seorang wanita mana pun di dunia. Ia mengandung seorang bayi tak berayah. “Hasya...,” kata Yusuf. Setelah beberapa saat, Yusuf pun mencoba menyembunyikan tangisnya. “Diriku berlindung kepada Allah dari berkata yang demikian. Dan sungguh, diriku sangat takut melukai perasaanmu. Namun, seperti inilah keadaanku yang tetap juga tidak paham. Memang, apa yang terlihat oleh mata tidak bisa dicerna oleh hati ini. Mohon berkenan menjelaskan kembali kepadaku mungkinkah seorang bayi ada tanpa ayah?” Inilah pertanyaan yang dinantikan. Maryam menepukkan tangannya ke ulu hatinya dalam-dalam dengan penuh kepedihan. Akhirnya, pertanyaan pahit yang dinanti-nantikan pun datang. 223Dalam kepedihan itu Maryam menata diri untuk tetap teguh dan tegar. “Bukankah engkau tahu bagaimana Allah telah mencipta Nabi Adam, wahai Yusuf? Lalu, bagaimana dengan Ibunda Hawa? Allah yang Mahakuasa untuk menciptakan mereka tanpa seorang ayah dan tanpa seorang ibu. Sungguh Dia kuasa menciptakan segala sesuatu hanya dengan memerintahkan jadi’ maka jadilah. Ataukah engkau tidak meyakini hal yang seperti ini?” Kembali Yusuf berkata, “Hasya....” “Mungkinkah diriku tidak beriman dengan hal ini? Namun, mohon Anda bercerita tentang keadaan diri Anda, wahai Maryam!” pinta Yusuf dengan begitu pedih menahan guncangan dahsyat dalam perasaan khawatir seraya bersimpuh erat-erat dalam tata krama seolah-olah dirinya tertindih besi berat di atas punggung dan pangkuannya.. Dan Maryam pun berkata, “Allah telah memberi kabar gembira kepadaku seorang Kalamullah yang menyandang sanjungan al-Masih, bernama Isa, sebagai putra Maryam. Di adalah seorang hamba yang senantiasa dimuliakan di dunia dan juga di akhirat. Yang dimuliakan dengan ketaatan kepada- Nya. Demikianlah, wahai Yusuf. Segala apa yang telah terjadi kepadaku adalah atas perintah Allah sebagai rangkaian takdir- Nya. Sekarang terserah, engkau boleh mengadili keadaan diriku dan bayi yang telah berada dalam kandunganku.” “Mengadili diri Anda? Tidakkah Anda juga tahu bahwa diriku telah mengabdikan hidup ini untuk selalu membantu Anda? Anda akan selalu mendapati diriku sebagai seorang yang senantiasa mengorbankan diri untuk melindungi dan menjaga keamanan Anda. Bukankah Anda pula yang mendapati diri ini selalu menjadi pendukung dan juga pengabdi dalam perjalanan 224Anda? Sungguh, pada hari-hari penuh dengan ujian berat ini, diriku juga akan senantiasa mengabdi dan menyimpan rahasia Anda.” Malam itu, Yusuf sang tukang kayu sama sekali tidak membuka mulut kepada siapa pun. Namun, Nabi Zakaria yang senantiasa mengasihi Yusuf seperti putra kandungnya sendiri mendapatinya tidak bicara dan paham bahwa telah terjadi sesuatu. Untuk itu, setelah makan, Nabi Zakaria memanggilnya untuk suatu urusan penulisan kitab. Saat itu, Yusuf sama sekali tertunduk, tidak pernah mengangkat pandangannya. Ia tidak bisa fokus pada tugas yang sedang diberikan kepadanya. Sampai-sampai, Yusuf menumpahkan tinta karena pena yang ia pegang tidak tercelupkan tepat pada botol tintanya. Nabi Zakaria pun angkat bicara. “Wahai anakku, apa yang sebenarnya telah terjadi? Permasalahan apakah yang telah sedemikian membuatmu terbebani seperti ini?” “Tidak ada apa-apa, wahai Paman. Saya hanya terlalu lelah.” “Namun, hal ini masih juga selalu seperti ini sejak engkau keluar dari mihrab. Apa yang sebenarnya telah terjadi?” Mendapati pertanyaan seperti itu, Yusuf tidak kuasa menahan tangis seraya menceritakan satu per satu apa yang telah dapati di dalam mihrab kepada nabi yang juga pamannya itu. Sejak saat itu, ia menuturkan keinginannya tidak lagi mengabdi di dalam mihrab. Ia takut masyarakat akan memitnahnya. Yusuf pun memohon izin kepada pamannya untuk menjauh ke suatu tempat. Nabi Zakaria sangat tahu pengabdian tulus Yusuf kepada Maryam. Bahkan, sebagian masyarakat juga ada yang berpendapat mengenai kecocokan Yusuf dengan Maryam. 225“Kedua pemuda ini sudah bertunangan,” demikian kata masyarakat. “Ah... masa muda,” kata Nabi Zakaria. “Coba dengarkan apa yang telah disampaikan Yusuf,” kata Nabi Zakaria memanggil istrinya untuk datang ke ruangannya. Al-Isya yang sedang dalam kandungan tua dan telah menunggu hari-hari kelahiran putranya dengan perlahan mendekat ke ruangan kemudian duduk bersandar pada dinding pintu. “Puji dan salam kepada Zat yang telah melimpahkan anugerah ke dalam kandungan ini. Sungguh, Maryam adalah seorang yang suci dan ahli zuhud. Bayi yang telah dititahkan Allah dengan nama Yahya dalam kandungan ini selama tiga bulan berucap salam kepada bayi yang saat ini berada dalam kandungan Maryam. Inilah yang diriku rasakan. Sungguh, hal ini telah membenarkan berita yang engkau ceritakan wahai Yusuf. Semua ini semata-mata atas kehendak Allah. Allah Mahakuasa untuk menciptakan seorang manusia tanpa ayah dan ibu. Zat yang telah menciptakan Nabi Adam pasti memiliki kuasa menciptakan bayi yang akan lahir dari kandungan Maryam.” “Demikianlah seorang wanita saudara Harun . Sungguh, betapa dia selalu bertutur kata mulia lagi pintar dalam kata- katanya,” kata Nabi Zakaria. “Untuk sementara, biarlah berita ini terjaga kerahasiaannya di dalam rumah ini dan jangan sampai ke luar dari rumah ini. Semoga Allah senantiasa menjadi wakil dan penolong kita semua,” tambah Nabi Zakaria. -o0o- 22623. Nabiyulah Yahya Lair Begitu al-Isya merasakan sakit, Merzangus langsung berlari memanggil Tujuh Dukun Bayi terdekat di kota al-Quds. Orang pun beramai-ramai memadati halaman depan rumah, taman, dan kebun zaitun. Mereka hendak menjadi saksi akan mukjizat berita gembira yang telah disampaikan kepada seorang nabi di akhir usianya. Saat itu, Ham, Sam, dan Yafes juga ikut menjadi saksi dengan membawa daun siklamen dari Kampung Rempah- Rempah yang dipercaya dapat membantu proses kelahiran dengan cara direbus dan diminum airnya. Doa-doa dan puji-pujian yang dipanjatkan para tamu ikut menciptakan suasana tegang saat-saat menunggu kelahiran sang bayi. Nabi Zakaria memang terkenal dengan ketekunan dalam berzikir. Hatinya begitu bersih dengan selalu berizikir kepada Allah. Ia yakin bahwa hanya dengan berzikir hati menjadi tenang. Dalam suasana yang cukup menegangkan ini, ia masih juga berseru kepada kaumnya, “Perbanyaklah berzikir kepada Allah, perbanyaklah zikir. Ingatkanlah hati kalian.” Lalu, datanglah saat-saat yang dinanti. Benih Nabi Yahya yang ditanam ke dalam rahim ibundanya kini telah lahir ke dunia. 227Dialah seorang nabi dan putra nabi yang disanjung dengan kebaikan. Demikianlah seorang bayi yang baru saja dilahirkan. “Ya Yahya, bersikap baiklah kepada ayah dan ibumu. Dia bukanlah seorang yang membangkang. Semenjak dilahirkan, saat kematian, dan saat kebangkitan dari alam kubur, salam terucap untuknya.” Banyak sekali kisah yang menuturkan Nabi Yahya sebagai seorang yang memiliki keutamaan dengan telah dikabarkan dalam berita gembira seperti berikut. “Setiap anak Adam akan kembali kepada Allah dengan dosa yang telah diperbuatnya. Dalam keadaan seperti ini, jika Allah menginginkan, Ia akan mengazab atau memberi rahmat kepada hamba tersebut, kecuali Nabi Yahya, putra Nabi Zakaria.” Demikianlah kemuliaan Nabi Yahya. Dia adalah nabi terpilih yang sejak kecil memiliki akhlak mulia dan sikap dewasa. Ketika anak-anak sebayanya sibuk bermain, Yahya kecil selalu menyampaikan kepada mereka kalau dunia bukan tempat untuk bermain, seraya mengajak teman-teman sebayanya untuk berdoa dan berzikir. Atas perilakunya yang seperti itu, Alquran pun menerangkan “Wahai Yahya! Berpegang teguhlah kepada kitab Allah dengan sekuat tenaga. Saat dia masih kecil pun Kami telah memberikan ilmu dan hikmah kepadanya.” -o0o- 22824. Sift-Sift Yahya Yahya adalah saudara sepupu Maryam. Putra dari bibinya. Sementara itu, Isa adalah cucu dari kakak ibundanya. Yahya adalah salah satu dari tiga orang yang diberitakan sebagai berita gembira. Yang pertama adalah Ishak, putra Ibrahim , yang kedua adalah Maryam, dan yang ketiga adalah Yahya, putra Zakaria . Mereka lahir di saat sang bunda telah berusia lanjut sebagai berita gembira yang dikabarkan oleh Allah. Semoga salam dan kesejahteraan dari Allah senantiasa terlimpah atas mereka. Mengenai Nabi Yahya.... Dia adalah seorang sayyid... Seorang yang tidak pernah marah, tidak pula suka tergesa- gesa Qatadah Berakhlak mulia Dahhak Hamba yang bertakwa Salim Seorang yang mulia Ibn Zaid Seorang alim, fakih Ibn Musayyab Seorang yang tidak memiliki sifat hasud Sawri Hamba yang selalu rela dengan ketetapan Allah Ahmad bin Asim Seorang yang taat, mulia dari teman-teman sebayanya Halil 229Ahli tawakal Abu Bakrinil Warrak Yang memiliki cita-cita mulia Tirmizi Dermawan, selalu lebih dalam kebaikan Abu Ishak Yang menyerahkan dua dunianya kepada Tuhan Junaid Bagdadi Seorang hasur... Yang tidak menikah meskipun mampu... yang menghindarkan diri dari segala keinginan dan lintasan untuk berhubungan badan. Yang sejak kecil telah bersikap teguh bahwa Diriku bukan diciptakan untuk bermain’. Dialah seorang Hasur, yang terjaga, yang terlindungi dengan perisai baja sifat haya. Dialah seorang nabi.... Seorang yang menjadi utusan dan juru bicara Allah. Seorang nabi yang menyeru kepada hidayah, menjadi penuntun bagi kehidupan ummat manusia. Seorang yang saleh. Nama yang mencakup semua kebaikan, Saleh. Martabat manusia yang paling tinggi; kedudukan yang paling mulia, dengan kehidupan luar dan dalam yang selalu sesuai dengan syariat, bersih-suci. Seorang yang murni, terang- benderang.... Seorang yang sering menangis. Sejak kecil selalu menyendiri di lereng gunung, duduk di samping sumur, sendiri menangis pilu.... -o0o- 230ya25. Btng Bereor di Btleem Malam itu... Sebuah bintang berekor bersinar terang di atas kota al- Quds. Ia memancarkan cahaya sangat terang cukup lama sampai kemudian bergerak menuju selatan dan menghilang. Beberapa orang pemuda ahli astronomi segera bangkit dari tenda yang didirikana di lereng Bukit Zaitun. Mereka memacu kuda seraya mengejarnya. Mereka mengejar dan terus mengejar ke arah yang sama sekali belum pernah diketahui. Pada waktu yang bersamaan... Maryam yang dijatuhi keputusan hukuman mati karena mendirikan salat secara berjamaah di padang pasir suci telah hampir genap sembilan bulan menyendiri di balik tirai penutup jendela mihrab. Kandungan Maryam yang beberapa lama ini tenang tiba-tiba mulai bergerak-gerak dengan kencang. Saat itulah, sebagaimana yang telah disepakati bersama dengan Nabi Zakaria, Maryam menyalakan lentera di dalam mihrabnya. 232Begitu lentera menyala, mulailah Nabi Zakaria, Yusuf, dan Merzangus berangkat menuju masjid dengan sembunyi- sembunyi. Sesampai di mihrab, setelah pintu terbuka, Zakaria dan Yusuf berucap salam kepada Maryam sambil keluar dengan sembunyi-sembunyi. Perlahan mereka menuruni tangga sampai akhirnya bertemu dengan Merzangus yang telah menunggu di samping tangga dengan sebilah pedang terhunus di tangan. Merzangus langsung mendekap Maryam yang begitu lemas dan gemetar. Pertama-tama, mereka memutuskan segera pergi menemui al-Isya. Namun di tengah-tengah perjalanan menuju rumah sang bibi, mereka dikagetkan kedatangan beberapa orang pemuda ahli astronomi. Kuda-kuda tunggangan mereka tampak terengah-rengah. Mereka bertiga “Sang raja sudah lahirkah!?” tanya mereka berulang-ulang dengan tergesa. Bintang berekor telah melaju kencang dari tangga Masjid Aqsa menuju tempat ini sampai kemudian menghilang. Merzangus yang juga kaget dengan kedatangan mereka melirik ke arah Nabi Zakaria dan Yusuf dengan pandangan bertanya, sambil menghunus pedang dan mengacungkannya ke arah tiga pemuda tersebut... Ia angkat cadar wajahnya sampai menutupi bagian hidung seraya berteriak, “Jangan mendekat!” Para pemuda ahli astronomi ini pun kaget dengan tindakan Merzangus. Mereka bahkan sampai kewalahan menghentikan kudanya dan lekas turun untuk bersimpuh dan berucap salam. Dengan singkat dan cepat mereka menuturkan maksud kedatangannya dan langsung bertanya, “Apakah sang raja sudah lahir?” 233Mendapati keadaan seperti ini, Merzangus pun memasukkan kembali pedang ke dalam kerangkanya. Sebenarnya, ia sendiri juga tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam keadaan seperti itu. Satu-satunya hal yang ada dalam pikirannya adalah secepat mungkin meminta ketiga orang asing tersebut segera meninggalkan tempat itu karena Maryam telah sedemikian pedih merasakan sakit. “Aku dapat menunjukkan kepada kalian tempat sang raja yang kelahirannya Anda sekalian nantikan. Ikutilah diriku,” ujar Merzangus. Merzangus segera loncat ke atas punggung kudanya yang bernama Suwat sambil memberi isyarat dengan pedangnya agar ketiga orang asing tersebut mengikutinya. Saat itulah Yusuf baru menyadari mengapa Merzangus melakukan hal tersebut. Kemudian, mereka pun segera melanjutkan perjalanan membawa Maryam yang gemetar kedinginan ke suatu tempat yang lebih terang dan aman. Hanya saja, Maryam sudah tidak lagi mampu berjalan. Fase pembukaan telah dimulai. Darah pun terlihat. Pedih beribu pedih ia rasakan. Pada saat itulah lagi-lagi datang seorang penjaga bersama dua temannya karena mendengar suara kuda yang dipacu. Saat mendapati mereka berjalan mendekat ke arah Nabi Zakaria dengan membawa kayu pemukul berujung besi, sang Nabi itu pun berkata kepada rombongannya, “Kalian pergilah. Biar aku yang meyakinkan mereka agar mau kembali.” Yusuf pun segera menuntun Maryam yang terlihat begitu letih dan lemas. Badannya berselimutkan pasmina. Maryam pun berjalan pelan menuju rumah al-Isya. Namun, belum beberapa lama, Maryam menyampaikan kepada Yusuf tentang ilham yang didapatkannya dari Allah. 234“Yusuf,” katanya... “untuk saat ini cukup sampai di sini engkau menemaniku. Dalam hatiku terdetak perasaan yang begitu kuat kalau aku harus sendirian menempuh perjalanan ini untuk pergi ke tempat yang jauh. Malam hari ini, ke mana saja Allah menghendaki diriku pergi, ke tempat itulah aku akan pergi menjauh dari keramaian. Berdoalah untukku dan untuk bayiku yang akan lahir. Aku tidak bisa membayar hak- hakmu atas diriku, mohon dimaafkan.” Meski Yusuf telah berusaha meyakinkan Maryam, tetap saja ia tidak mampu. Bahkan, Maryam telah beranjak untuk memikul, menunaikan perintah, dan mengikuti ilham yang telah diberikan oleh Allah. Demikianlah, salah satu nama lain dari Maryam adalah “Asra”, yang berarti seorang yang berjalan pada waktu malam. Bersama dengan sang bayi yang berada di dalam kandungannya, ia menyendiri ke tempat yang jauh. Ilhamlah yang telah Maryam dapatkan dan memandunya untuk terus berjalan dan berjalan dalam penuh kepedihan menuju Betlehem yang terletak di sebelah selatan al-Quds. Maryam menyendiri ke suatu tempat yang teramat jauh. “Tempat yang jauh” itu telah menjadi takdir bagi Maryam. Seperti sebatang tunas yang dirawat langsung oleh Zat Yang Maha Mencipta, Maryam telah disimpulkan dengan kata “jauh” dalam kehidupannya. Jauh.... Demikianlah Maryam hidup dalam perintah “uknut!” di sepanjang kehidupannya. “Taatlah...!” Saat ia berlama-lama berdiri tegak berdoa dalam salat, di saat ia berteguh dalam ketaatan, bahkan saat merebahkan diri dalam istirahat, kehidupannya selalu 235berlangsung dalam ikatan perintah uknut. Begitulah guratan takdir yang telah ditentukan baginya. Kini, perintah taat telah membuatnya berjalan ke tempat yang jauh. “Diri sendiri” adalah ringkasan singkat hidupnya. Takdir yang akan ditempuhnya merupakan contoh bagi setiap kaum hawa di masa setelahnya. Tidak pernah ia merasa gentar dengan kesendiriannya. Dengan ketegaran dan keteguhannya inilah ia akan berbisik bahwa bersama dengan Allah merupakan kekuatan yang tidak mungkin ada yang menandingi. Dalam ujian yang teramat sangat berat inilah Maryam akan bercerita apa saja yang mampu dipikul oleh seorang wanita yatim. “Jiwa kesatria adalah sebuah sifat. Dengan jiwa itu ada beberapa kaum wanita telah menunjukkan diri sebagai seorang kesatria.” Demikianlah yang terpekik dalam ujian hidup yang dialami Maryam, yang api ujian itu masih terus membara, terus membakar jiwa sebagian kaum wanita. -o0o- 23626. Marym di Btleem Setelah berpisah dengan Merzangus, kemudian Zakaria dan Yusuf, Maryam melangkahkan kakinya berjalan ke arah barat daya al-Quds. Ia terus melangkahkan kakinya menembus rimbun perkebunan zaitun. Maryam dengan teguh melangkah seolah-olah di depannya terdapat anak-anak kecil memanggil-manggilnya dengan riang sambil melambai- lambaikan tangan. Saat Maryam mencapai ujung kebun zaitun, tiba-tiba jalan telah menanjak menuju atas bukit. Napas Maryam pun tersengal. Ia bersandar pada pematang kebun untuk beristirahat sejenak sembari memandang ke arah Danau Luth. Embusan angin malam menyapu wajah Maryam bersama aroma kepekatan garam. Saat itulah jerit pedih dan tangisan kaum Luth yang ingkar bersama dengan istrinya yang tenggelam di dasar danau seolah-olah terdengar. Mereka adalah kaum Luth yang tidak mengindahkan seruan nabinya. Allah pun mengutus dua malaikat untuk menyelamatkan Nabi Luth bersama dengan anak-anaknya dari kaumnya yang zalim. 237Pada keheningan malam, kota kaum Nabi Luth diluluhlantakkan amblas ke dalam tanah. Hantaman air deras lalu memusnahkan tempat itu hingga tenggelam. Gambaran seperti itulah yang sedang terbayang nyata dalam pandangan Maryam saat melihat ke arah hamparan air Danau Luth pada malam itu. Maryam tiba-tiba terperanjat akibat suara gemeretak dedaunan dari ketinggian bukit. Saat mengarahkan pandangan ke arah suara itu, ia makin kaget karena ada penampakan dua orang berpakaian putih menyala menuruni lereng-lereng bukit. “Mungkinkah ini hanya ilusi dari kelelahan yang aku rasakan?” Perasaan Maryam masih belum tenang. Selama ini, kehidupannya selalu berlangsung di dalam mihrab dan diawasi Nabi Zakaria. Maryam tidak pernah berada di jalanan, apalagi di dalam keheningan malam, seorang diri. Meski pernah beberapa kali Maryam mengunjungi rumah para fakir miskin dan anak-anak yatim di keheningan malam, saat itu dirinya dipandu Yusuf sehingga ia tidak terlalu risau. Apalagi, saat ini kedua telapak kakinya memar dan penuh luka. Ia sama sekali tidak memiliki alas kaki. Berjalan Maryam tanpa alas kaki. Berjalan seorang diri dalam keheningan malam. Berjalan tanpa mengenali arah dan jalur perjalanan. Dalam rasa sakit yang memilukan. Maryam berlumuran darah. Runcing bebatuan dan tajam duri-duri jalanan tidak hanya melukai kedua kakinya tapi juga menusuk pedih jiwanya. Terus berjalan dalam keheningan malam... 238Berjalan mengikuti lambaian tangan anak-anak yang memanggilnya dengan penuh keriangan, menyusuri jejak dua orang berpakaian putih yang menyusup dari ketinggian puncak bukit. Pada saat itulah terdengar seruan di dalam telinganya, “Jangan pernah berhenti untuk berzikir kepada Tuhanmu.” Maryam menahan rasa sakit yang dideritanya untuk tetap berjalan dan berjalan. Sejak kecil Maryam menjadikan lafaz-lafaz zikir sebagai napasnya. Seperti menimba air dari dalam sumur, Maryam pun menarik napas zikir dari dasar kedalaman hatinya. Namun, pada malam ini isi sumur hati Maryam seakan- akan membeludak. Terlebih dengan sakit yang dideritanya, yang telah membuat hati, lidah, dan segenap jiwanya dipenuhi semangat untuk khusyuk dalam untaian zikir. Seolah-olah kehidupan di dalam mihrab yang penuh kekhusyukan berdoa dan berzikir telah membimbingnya untuk semakin bersemangat mengungkapkan isi hatinya. “Ya Rabb Ya Allah, Ya Fattah Ya Allah, Ya Shamad Ya Allah, Ya Wahhab Ya Allah, Ya Shabur Ya Allah... Engkaulah al-Fattah. Hanya kepada-Mu diri ini mengadukan keadaanku. Sungguh, Engkaulah Zat Yang Maha Menggenggam kunci keluar dalam setiap derita dan kesusahanku.” 239Engkaulah tidakpernahbutuhkepada siapa pun. Engkau tidak berputra, tidak pula diputrakan. Sementara itu, diri ini adalah hamba yang senantiasa butuh kepada-Mu. Sungguh, rasa sakit ini semakin menjadi dan keheningan malam membuat diri ini merasa sendiri sehingga hanya kepada-Mu diri ini memohon dihindarkan dari kepedihan hati dan dan badan. Engkaulah al-Wahhab. Zat yang Maha Melimpahkan. Engkau telah melimpahkan nikmat-Mu kepadaku sebagai seorang yang yatim. Engkau tumbuh kembangkan diriku hingga dewasa dalam limpahan nikmat yang tiada terhingga. Saat ini, aku memohon Engkau berkenan menyingkap keadaanku yang penuh dengan kesusahan dan kepedihan ini untuk dipertemukan dengan kelapangan dan keamanan. Sungguh, Engkau adalah Mahakuasa atas segala sesuatu. Oleh karena itu, hamba memohon dengan sangat, keluarkanlah diriku dari kegelapan sebagai limpahan dari nikmat-Mu. Ya Shabur, Ya Allah! Limpahkanlah diri ini kekuatan dari-Mu. Jadikanlah diri ini menjadi hamba yang senantiasa mampu bersabar menghadapi musibah dan kesusahan dengan kekuatan iman kepada-Mu. Ya Tuhan! Limpahkanlah kepadaku kekuatan untuk dapat tetap bertahan!” Setelah sampai ke puncak bukit, Maryam pun melihat ke sekelilingnya. Dari kejauhan, sorot remang lampu perkampungan Betlehem terlihat. Redup sorot cahaya lentera itu seakan- akan sedikit meredakan sakit yang Maryam rasakan. Ia pun menenangkan diri dan mengarahkan wajahnya ke arah embusan angin yang bertiup semilir. Hati Maryam seolah-olah merintih memandangi redup cahaya lentera dari rumah-rumah itu. 240Dalam keheningan malam, semua orang tentu sedang dalam keadaan yang begitu nyaman, sementara dirinya menyusuri rimba jalanan yang dia sendiri tidak tahu ujungnya. Tersayat hati Maryam dalam pandangan sorot cahaya lentera itu sehingga wajah ibundanya hadir dalam bayangan. Wajah itu seolah-olah nyata seperti yang ia jumpai di dalam mimpi. “Oh ibu!” katanya. Ibu... Betapa indah kata itu. Kata yang penuh dengan muatan doa. Seolah-olah lafaz zikir. Mengucapkannya, hati manusia menjadi tenang. Seakan-akan seseorang telah datang mengulurkan tangannya dan hamparan langit menjadi cerah dibuatnya. Dada manusia pun menjadi lapang dalam keberadaannya. “Duhai ibu!” kata Maryam, “Sungguh, jika saat ini masih ada, engkau tidak akan mungkin membiarkanku sedirian di sini.” Maryam merasa heran dengan dirinya saat mengucapkan kalimat itu. Dirinya sejak kecil telah ditempa dengan kehidupan yang penuh dengan kesabaran. Tidak pernah ia mengungkapkan keyatimannya. Namun, entah apa yang telah terjadi dalam kesendiriannya di keheningan malam itu? Maryam merasa bahwa sakit dan kepedihan yang dirasakan dalam kesendirian dan keheningan akan menghimpit manusia ke dalam kerapuhan serta menggerogoti kesabarannya seperti bubuk kayu. Demikianlah yang terlintas dalam pikiran Maryam. Namun, sudah tidak tersisa tenaga untuk merenunginya saat kepedihan baru menusuk jiwa Maryam sehingga ia pun lebur sehalus debu. 241
Uploaded byMuhammad Arif 82% found this document useful 11 votes38K views7 pagesCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsPDF or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?Is this content inappropriate?Report this Document82% found this document useful 11 votes38K views7 pages19 Surah MaryamUploaded byMuhammad Arif Full descriptionJump to Page You are on page 1of 7Search inside document You're Reading a Free Preview Pages 4 to 6 are not shown in this preview. Buy the Full Version Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
maryam bunda suci sang nabi pdf